
lingkar-desa.com- Konflik antara Masyarakat Adat Pubabu dengan Pemerintah Provinsi NTT kembali memanas. Pada Selasa (4/8/2020) lalu Pemprov NTT melakukan penggusuran dengan dalih penertiban aset terhadap 3 keluarga yang berdiam didalam kawasan hutan Besipae.
Sebelumnya pada pertengahan Februari 2020 lalu, Pemprov NTT juga melakukan hal serupa. Meski demikian, masyarakat adat Pubabu tetap bertahan dan memperjuangkan haknya atas kawasan hutan tersebut.
Persoalan ini bukan baru terjadi. Ada cerita panjang di balik lahan tersebut dan perjuangan masyarakat adat Pubabu. Pertanyaannya, bagaimana asal muasal lahan ‘hutan Besipae’ dan bagaimana riwayat konflik masyarakat adat Pubabu dengan Pemrpov NTT?
Baca: Asal Muasal ‘Hutan Besipae’ dan Riwayat Konflik Masyarakat Adat Pubabu vs Pemprov NTT (1)
Berikut lingkar-desa.com sajikan lanjutan dari artikel sebelumnya.
Penolakan Masyarakat Adat
Kawasan hutan adat Pubabu-Besiape Desa Linamnutu dan Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan ditetapkan sebagai Hutan Negara dengan fungsi hutan lindung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan untuk Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dimulai tahun 2007.
Areal yang digunakan untuk program ini meliputi meliputi 4 lokasi yaitu kawasan hutan Koa, Besipae, Desa Linamnutu, dan Desa Mio.
Kawasan hutan adat tersebut tercatat dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) Nomor 29 yang termuat dalam Berita Tata Batas Negara Hutan dengan fungsi hutan lindung yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dengan luas 2900 Ha. Pada tahun 2008 progran GERHAN dilanjutkan lagi oleh Dinas Kehutanan di areal yang sama.
Pada tahun yang sama masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU untuk program GERHAN tersebut karena aktifitas pembabatan hutan alam telah menyebabkan keringnya sumur-sumur disekitar kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Kondisi ini berdampak pada sulitnya masyarakat khususnya perempuan untuk mendapatkan sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan air. Setidaknya Rp50.000–Rp 70.000 setiap minggunya untuk biaya “ojek” mengambil air karena jarak yang cukup jauh.
Selain itu, masyarakat juga kehilangan akses terhadap hutan milik mereka sendiri karena masyarakat dilarang memasuki kawasan hutan walaupun sekedar mengambil ranting kering untuk kayu bakar dan mengambil pakan ternak.
Dampak lainnya adalah populasi hewan seperti rusa dan sebagainya sudah semakin berkurang karena aktifitas pembabatan hutan.
Baca: Warga Besipae Rela Makan Sekali Sehari demi Jaga Hutan Adat
Pada 12 April 2008 terjadi pembabatan hutan Besipae di Desa Pollo dan Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang dilakukan oleh beberapa kelompok orang yang diduga dibentuk oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT untuk merehabilitas hutan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Aktifitas ini telah menyebabkan terjadinya kekeringan di 2 desa yaitu Desa Pollo dan Desa Linamnutu.
Ada beberapa dampak dari pembabatan hutan diantaranya keringnya sumur bor dengan kedalaman mencapai 62 meter dan hilang atau punahnya jenis satwa liar serta jenis satwa langkah. Dampak lainnya adalah hilang atau punahnya kayu-kayu asli yang bernilai tinggi dan hasil-hasil hutan lainnya.
Merespon pembabatan hutan tersebut 7 orang wakil dari masyarakat adat Pubabu mengadu ke Komnas HAM. Ketujuh perwakilan masyarakat adat Pubabu tersebut adalah Rison Taopan, Nikodemus Manao, Marthen Tanono, Paulus Selan, Benyamin Selan, Daud Selan, dan Lefinus Neolakan.
Selanjutnya, pada tahun 2011, masyarakat adat Pubabu-Besipae yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT di Instalasi Besipae dengan nomor surat :03/ITAPKK/II/2011
Pada tanggal 19 Maret 2013, pemerintah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas areal 37.800.000 M2.
Rekomendasi Komnas HAM

Berdasarkan laporan masyarakat adat Pubabu kepada Komnas HAM, pada 06 April 2011 Komnas HAM Republik Indonesia mengeluarkaan surat dengan Nomor 873/K/PMT/IV/2011 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan, dengan isi surat sebagai berikut;
- Menjaga agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi sampai adanya solusi penyelesaian masalah tersebut.
- Menjaga agar kawasan hutan tetap lestari.
- Menghentikan untuk sementara kegiatan Dinas Peternakan Provinsi NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada penyelesaian.
- Bahwa komnas HAM akan menindaklanjuti pengaduan ini dengan melakukan pemantauan ke lokasi dan atau melakukan upaya mediasi para pihak. (Bukti 4).
Pada 9 Oktober 2012 ada upaya kriminalisasi terhadap 17 orang masyarakat adat Pubabu. Diantaranya ada 4 orang perempuan dan 2 orang anak. Keempat perempuan kemudian dilepas karena tidak cukup bukti yaitu Demaris Tefa, Kistarina Nomleni, Afriana Neolaka, dan Yuliana Lette. Sementara itu, 2 orang anak laki-laki di bawah umur atas nama Yermias Nomleni dan Deni Tamonob.
Sisanya 1 orang ditahan selama 2 bulan yaitu Benyamin Selan. Sementara itu, 10 orang ditahan selama 4 bulan 19 hari atas nama Yakobus Sae, Maklon Kolodikson Sole, Frans Sa’e, Simon Kase, Dafit Manisa, Roberto Faot, Anderias Nenokeba, Naftali Liunokas, Kornalius Nomleni, Thobias Tobe. Kesepuluh orang tersebut dibebaskan pada 28 Februari 2013.
Pada 09 November 2012 Komnas HAM kembali mengeluarkan surat dengan nomor 2.720/K/PMT/XI/2012, perihal permasalahan hutan masyarakat adat pubabu Besipae di Kabupaten Timor Tengah selatan yang isi suratnya sebagai berikut;
- Mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang berakhir pada tahun 2012 kepada warga untuk dikelola demi menghidupi keluarganya.
- Mengevaluasi UPTD Prov NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan warga, dimana pada kenyataannya program tersebut tidak mengembangkan warga tetapi justru membebani warga.
Intimidasi

Pada tahun 2013 Pemerintah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai sebagai dasar atas kepemilikan hutan adat Pubabu. Hal inilah yang memicu konflik semakin memanas karena pada tahun 2011 masyarakat melalui ITAPKK (Ikatan Tokoh Adat Penegak Kebenaran dan Keadilan) telah mengirimkan surat pembatalan perpanjangan kontrak dengan Dinas Peternakan Provinsi NTT
Pada tanggal 30 Mei 2013 ITAPKK melayangkan surat keberatan kepada DPRD Provinsi NTT meminta klarifikasi atas isi dari berita media Pos Kupang pada tanggal 22 Mei 2017 halaman 6, yang berjudul “PAD MENGALAMI PENINGKATAN DRASTIS” dan secara khusus klaim pemerintah terhadap lahan pengembangan peternakan seluas 3.784 HA dan jumlah ternak dalam pedok 37 ekor dan mitra 300 lebih ekor”.
Menurut ITAPKK, hal ini sangat tidak benar sebab pengembangan peternakan tidak ada lagi secara khusus di Pubabu Besipae, Desa Linamnutu. Oleh karenanya, mereka meminta kesediaan DPRD untuk menindak pembohongan publik terkait keadaan pengembangkan peternakan di Desa Linamnutu, Pubabu Besipae’e.
Pada 17 Oktober 2017, konflik semakin memanas karena Pemerintah Daerah Provinsi NTT melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu melalui cara-cara sebagai berikut;
Polisi Pamong Praja, Dinas Peternakan Propinsi dan UPT Dinas Peternakan Timor Tengah Selatan yang dikawal Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur mendatangi masyarakat sekitar pukul 15.00 Wita dengan membawa surat Nomor : BU.030/105/BPPKAD/2017 tertanggal 17 Oktober 2017, perihal: penegasan tentang Tanah Instalasi Besipae Milik Pemerintah Provinsi NTT dan meminta masyarakat adat Pubabu untuk segera mengosongkan lahan, dengan alasan bahwa tanah adalah milik/aset Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur atas dasar Sertifikat Hak Pakai nomor: 00001/2013-BP,794953, tanggal 19 Maret 2013 dengan luas tanah 37.800.000 M2
Surat dengan nomor BU.030/105/BPPKAD/2017 yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Ir. Benediktus Polo Maing menenjelaskan sebagai berikut;
- Tanah Instalasi Besipae merupakan tanah milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang tercatat pada Daftar Barang Milik Daerah Provinsi NTT dan Daftar Barang Pengguna pada Dinas Peternakan Provinsi NTT.
- Meminta masyarakat untuk menghentikan segala aktivitas diatas Tanah Instalasi Besipae milik pemerintah Provinsi NTT tersebut dan segera membongkar sendiri bangunan yang telah dibangun terhitung mulai tanggal 18 Oktober sampai dengan 24 Oktober 17.
- Apabila sampai batas waktu yang telah ditentukan tidak diindahkan maka akan dilakukan penertiban dan pembongkaran bangunan
Dengan dasar Sertifikat Hak Pakai nomor :00001/2013-BP,794953, pada tanggal 17 Oktober pukul 15.30 WITA, Polisi Pamong Praja, Sekretaris Kecamatan dan Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur melakukan intimidasi pada masyarakat dengan menerobos masuk ke rumah bapak David Manisa dan meminta untuk menandatangai surat pengosongan lahan atau hutan adat Pubabu. Kedatangan itu membuat Bapak David Manisa merasa ketakutan dan trauma karena tanpa menjelaskan maksud yang jelas dia diminta menandatangan surat tersebut. Bapak David Manisa tidak mau menanda tanganinya. Oknum kepolisian pamong praja beserta Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur dan UPT Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur memaksanya, ada yang membentak dan mengambil foto. Ada salah satu oknum dalam rombongan itu berkata “ foto dia supaya dia lari na kita bisa kejar dia”. Bapak David Manisa tidak bisa melakukan perlawaan, akhirnya dia difoto dengan hanya memakai celana pendek tanpa menggunakan baju. Bapak David Manisa pun diajak untuk mengikuti mereka menuju rumah warga masyarakat lainnya.
Pada hari yang sama, setelah dari rumah Bapak rumah David Manisa. Aparat menandatangi rumah bapak Frans Sae. Perbuatan yang sama juga dialamianya. Dipaksa untuk menandatangani surat pengosongan lahan. Bapak Frans Sae melakukan protes dan tidak mau menandatangani surat pernyataan tersebut. Dia juga di Intimidasi dengan cara difoto, dan diancam dengan kata-kata “ foto dia juga supaya kalau dia lari kita bisa tangkap dia “
Pada hari yang sama, aparat juga mendatangi rumah Ibu Damaris, mereka memaksa Ibu Damaris. Tanpa memperhatikan kondisi ibu Demaris yang sedang memakai pakaian, mereka memaksa untuk menandatangai surat pengosongan lahan, tapi ibu Demaris tidak mau menandatanganinya.
Dalam kondisi pakian yang tidak lengkap didatangi oleh aparat, hal ini merupakan perbuatan tidak senonoh dan tidak menghargai dia sebagai perempuan. Dia merasa dipermalukan dihadapan umum dan sangat tidak manusiawi. Ibu Demaris juga difoto dan diancam dengan kata-kata yang sama seperti Bapak David Manisa dan Frans Sae.
Tanggal 17 Oktober 2017 pukul 15.30 WITA aparat mendatangi rumah Ketua RT, dimana rumahnya berdekatan dengan Lopo (tempat masyarakat adat berkumpul untuk melakukan pertemuan), dan saat itu juga ada masyarakat yang sedang berkumpul. Terjadi perdebatan antara masyarakat adat pubabu dengan aparat karena masyarakat dengan tegas menolak aksi intimidasi yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dan memaksa masyarakat menandatangani surat pernyataan tersebut.
Akibat intimidasi dan pemaksaan yang dilakukan oleh aparat ini masyarakat adat Pubabu merasa shock dan trauma berkepanjangan terutama perempuan dan anak-anak. Hari-hari selanjutnya mereka tidak bisa bekerja dengan tenang karena ketakutan rumahnya di gusur dan ketika mendengar sirine mobil mereka sudah gemetar dan takut akan terjadi peristiwa kekerasan dan pemaksaan lagi.
Pada tanggal 25 Oktober 2017 DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan puluhan masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.
Dalam RDP ini, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) NTT diberi kesempatan oleh pimpinan rapat untuk menyampaikan pendapatnya. Disebutkan, Sertifikat Hak Pakai yang dikeluarkan pada tahun 2013 dengan No: 00001/2013-BP,794953 itu untuk mengantikan sertifikat milik pemerintah yang diterbitkan pada tahun 1987.
Alasannya, sertifikat itu telah hilang. Namun masyarakat adat Pubabu mencurigai modus penghilangan sertifikat untuk menghindari kontrak yang telah ditanda tangani pemerintah dan tokoh-tokoh adat sebagai pemegang hak atas hutan adat Pubabu” (https://www.beritamoneter.com/pemprov-ntt-dicurigai-sengaja-menghilangkan-sertifikat-tanah-adat-pubabu/?fbclid=IwAR3XPBJlcGj4ucYVuRczBr0ngEgj4HIiDnFyYK1ZNNO5i9Qne9HEqIc2c8
Penggusuran dan Janji Dialog

Tanggal 09 Februari 2020 rombongan pemerintah Provinsi NTT yang dipimpin langsung oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, dengan mengendarai kurang lebih 12 mobil mendatangi kawasan hutan adat Pubabu untuk mengecek beberapa asset (gedung) yang peninggalan Australia melalui proyek Intensifikasi peternakan.
Tapi kedatangan ini tidak diinformasikan sebelumnya pada masyarakat, dan juga kedatangan mereka pada hari Minggu disaat masyarakat sedang melakukana ibadah di gereja yang berjarak 3 kilometer dari rumah mereka. Kedatangan tersebut diketahui oleh dua orang masyarakat adat yang bernama ibu Damaris Tefa dan ibu Marselina Selan dan beberapa anak-anak yang sedang bermain di areal gedung tersebut. Ibu Demaris dan Marselina Selan menghampiri rombongan dan ikut masuk kedalam kompleks.
Setibanya di sana turunlah rombongan termasuk Gubernur tanpa basa-basi Gubernur langsung mengatakan pada dua orang tersebut bahwa masyarakat adat pubabu harus segera keluar dari lahan karena tanah dan hutan ini adalah milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan akan dilakukan renovasi.
Pada tanggal 13 Februari 2020 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengeluarkan surat dengan nomor : BU.005/89/BPAD/2020, perihal undangan kepada masyarakat adat Besipae untuk melakukan sosialisasi terkait rencana Pemerintah untuk pengembangan lahan Instalasi Ternak Besipae.
Pada hari Jumat tanggal 14 Februari 2020 rencana sosialisasi oleh Pemerintah Provinsi NTT tidak terlaksana karena masyarakat menolak.
Pada hari Sabtu tanggal 15 Februari 2020 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur kembali mendatangi masyarakat untuk melakukan sosialisasi, namun sosialisasi tersebut terkesan mengintimidasi dan sepihak dan kembali masyarakat menolak dengan alasan:
- Sosialisasinya mengintimidasi masyarakat karena Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur membawa aparat gabungan seperti Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, Brimob, TNI dengan membawa perlengkapan senjata dan gas air mata.
- Sosialisasi bersifat sepihak karena pemerintah provinsi NTT melakukan penipuan publik karena peremerintah telah membuat pernyataan bahwa masyarakat menyepakati untuk direlokasi dan setuju diberi tanah seluas 20X40 M2 dengan bukti sertifikat.
Pada hari Senin tanggal 17 Ferbuari 2020 Tim gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Brimob, Satuan Polisi Pamong Praja dan TNI, juga ada sniper pasukan anti huru hara dengan membawa water canon melakukan penggusuran terhadap masyarakat adat Pubabu.
Masyarakat mencoba menghadang dan melakukan perlawanan. Tim Gabungan berhasil menggusur 3 kepala keluarga yang tinggal di bangunan yang klaim oleh pemerintah sebagai aset pemerintah. Barang-barang mereka dikeluarkan dengan paksa. Bahkan ada barang-barang mereka yang rusak, hilang dan diambil oleh aparat. Setelahnya aparat memagari areal tersebut dengan garis polisi (police line). Kepala keluarga tersebut adalah sebagai berikut;
- Aplos Selan, dengan anggota keluarga berjumlah 5 orang
- Henderikus Betty, dengan jumlah anggota keluarga 4 orang
- Yunus Selan, dengan jumlah anggota keluarga 4 orang
Saat kejadian ini, banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan aparat, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik karena mereka berada digaris depan untuk menghadang aparat agar tidak terjadi penggusuran pada mereka. Ibu Martedha Esterlina Selan sempat merasakan “digepe“ atau dicekik dan ditarik oleh aparat agar agar keluar dari lokasi penggusuran. Begitu juga yang dirasakan oleh Ibu Kisterina Nomleni, Demaris Tefa dan ibu Yohana Selan. Sementara perempuan lain dan anak-anak sudah pingsan karena ketakutan dan kehabisan tenaga karena berteriak agar mereka tidak digusur.
Pada tanggal 18 Februari 2020, Wakil Bupati Timor Tengah Selatan menemui masyarakat adat pubabu untuk melakukan negosiasi dengan 3 kepala keluarga yang digusur dan mencoba menawarkan bantuan memberikan bantuan rumah sosial pada 3 kepala keluarga yang rumah telah dieksekusi oleh Pemerintah Provinsi NTT. Tetapi 3 kepala keluarga tersebut juga masyarakat menolak bantuan tersebut.
Pada tanggal 19 Februari 2020, Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD) juga menawarkan bantuan tetapi masyarakat juga menolak bantuan tersebut.
Sejak dilakukan penggusuran oleh Pemerintah Provinsi NTT, 3 kepala keluarga tersebut masih tetap bertahan di kawasan hutan tersebut. Selama kurang lebih satu minggu mereka tinggal dan tidur di “lopo” atau balai pertemuan. Untuk membantu 3 kepala keluarga tersebut masyarakat bergotong royong dan mengumpulkan sumbangan untuk membangun rumah untuk mereka.
Setelah kejadian tanggal 17 Februari 2020 hingga saat ini, masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak masih merasakan trauma dan ketakutan. Bahkan tiga orang perempuan yang berhadapan lansung dengan aparat saat itu seperti Ibu Demaris Tefa, Yohana Nomleni dan Martheda Esterlina mengalami sakit karena kekerasan yang mereka alami. Ibu Martheda Esterlina (Ester) mengatakan bahwa ada aparat yang menduduki tubuh perempuan yang sedang pingsan.
Sampai hari ini mereka masih tetap diawasi oleh aparat kepolisian sektor Amanuban Selatan maupun oleh TNI. Setiap hari ada aparat yang datang dan mengawasi aktifitas mereka. Hal ini tentu saja menguatkan trauma dan ketakutan mereka akan terjadi lagi bentrok dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
Tanggal 10 Maret 2020 kepala aset dan Kasat Pol PP memimpin rombongan untuk melakukan pembongkaran pondok dan pagar milik warga di sekitar lokasi, kemudian pihak pemprov membangun satu buah pondok ukuran 4 X 4 m untuk ditinggali oleh 2 KK. Kemudian masyarakat tidak menerima dan membongkar ulang dan membangun lagi di dekat lokasi yang lama.
Pada tanggal 12 Maret 2020 perwakilan masyarakat Pubabu, WALHI NTT dan FPR melakukan audiensi ke gedung DPRD Provinsi NTT dengan pimpinan DPRD Propinsi NTT Ibu Emmy Noemleni. Hasil audiensi disepakati 2 hal yakni: (1) DPRD Provinsi akan membentuk Tim Pencari Fakta terkait kasus lahan di Besipae; (2) DPRD Provinsi akan bersurat ke Pemerintah provinsi NTT dalam hal ini Gubenur NTT, Bagian Aset untuk menghentikan seluruh upaya pembongkaran di lokasi hutan adat Pubabu.
Pada tanggal 12 Mei 2020, Gubernur NTT dan rombongan sepulang dari lokasi panen jagung di Desa Tupulopo dan Desa Tubuhue, Beliau singgah di lokasi di Besipae dan meminta masyarakat membongkar pagar yang dibangun oleh masyarakat. Masyarakat menolak dengan alasan bahwa tanah tersebut masih berperkara dan sempat terjadi keributan (adu mulut) dan aksi buka baju beberapa ibu-ibu di Pubabu. Kemudian dilanjutkan dengan dialog yang menyepakati akan ada pertemuan antara gubernur dan warga pada bulan Juni.
Keterangan:
Artikel ini diolah ulang berdasarkan ‘Kronologi Konflik Masyarakat Adat Pubabu Dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur’ yang dikeluarkan oleh Walhi NTT