
lingkar-desa.com- /Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli/apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu/. Inilah penggalan puisi ‘Apa Guna’ karya Widji Thukul yang menjadi pegangan Mus Muliadi dan kawan-kawannya sesama pemuda kampung.
Bermula dari Juli 2017 lalu, Mus Muliadi yang kala itu bekerja pada sebuah lembaga swadaya masyarakat di Maumere menyadari anak-anak di kampungnya Hepang, Desa Nenbura, Kecamatan Doreng butuh ruang untuk berkumpul, bermain dan belajar bersama.
Anak-anak SD di kampung Hepang pada umunya bersekolah di SDN Hepang. Sekolah ini pun terbilang baru. Sampai dengan awal 2000-an anak-anak Hepang masih harus berjalan kaki sampai ke kampung Doreng di pinggir pantai agar bisa bersekolah. Baukan main jauhnya, lebih 5 km.
Karena jarak tersebutlah, tak heran banyak anak Hepang memutuskan tak bersekolah. Mus salah satunya yang bertahan dan bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi. Meski aktifitasnya di organisasi mahasiswa dan kendala biaya mengkandaskan kuliahnya, Ia setidaknya mengantongi pengetahuan dan pengalaman lain yang bisa dibagikan di kampung kecil itu.
Sekarang, setelah sekolah tak lagi jauh, banyak waktu yang dulunya dihabiskan di perjalanan ternyata masih terbuang. Di sore hari, anak-anak hanya bermain. Beberapa membantu orang tua di kebun. ini lah motivasi lahirnya Taman Baca Geri Gata. Mus ingin anak-anak Hepang bisa mengakses banyak informasi. Selain itu, mereka punya waktu belajar dan bermain bersama.
Caranya adalah dengan buku. “Hanya dengan buku saja saya pikir bisa menyatukan mereka. Tetapi saat itu, saya dan teman-teman berharap anak-anak bisa belajar hal lain di Geri Gata semisal seni dan budaya,” terangnya suatu waktu di Hepang, Desa nenbura.
Berawal dari buku Geri Gata awalnya adalah sebuah taman baca masyarakat yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Belakangan taman baca tersebut berubah. Mereka menyebutnya Rumah Belajar Kampung Hepang tempat masyarakat belajar bersama, berbagi pengetahuan dan bekerja bersama-sama.
“Ilmu pengetahuan adalah milik bersama. Namun, itu bisa terjadi kalau proses pencariannya pun dilakukan bersama,” Mus menegaskan prinsipnya.
Jatuh Bangun
Nama Geri Gata diambil dari bahasa Krowe. ‘Geri’ berarti mengais sementara ‘gata’ berarti membaca. Geri Gata bemakna mencari ilmu dengan membaca.
Mus berkisah semuanya dibangun dari nol. Setelah niat mendirikan taman baca disampaikan ke beberapa ank muda di kampung, problem berikutnya adalah buku. Buku-buku lantas dikumpulkan dari berbagai donasi. Kala itu, gerakan literasi sedang ramai dipromosikan di media sosial. Beberapa orang lantas mendonasikan buku diantaranya Gerakan Katakan Dengan Buku dan Buku Bagi NTT.
“Beruntung ada orang-orang baik yang mau membantu menyediakan buku bacaan bagi kami. Kalau harus beli tentu kami tidak mampu beli. Dengan ekonomi yang pas-pasan buku bacaan atau pun koran tidak masuk dalam daftar belanjaan,” ujarnya sambil tertawa.
Halaman rumah Mus Muliadi lantas dipakai untuk mendirikan pondok-pondok bambu sebagai tempat baca dan nongkrong. Aktifitas baca dan kunjungan anak-anak pun dimulai. Taman baca dibuka dengan ‘Operasi Sadar Baca’, sebuah kegiatan sederhana membaca dan menceritakan kembali hasil bacaaan yang disisi dengan permainan dan nyanyi serta menari bersama.
Selanjutnya, beberapa anak muda dipercaya mengelola Geri Gata, mengatur buku dan mengatur anak-anak yang datang membaca.
Anak-anak punya tempat bermain baru. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan Geri Gata tetap menjadi taman baca, tempat singgah sekaligus ruang mencari ilmu bagi anak-anak kampung.
“Kami pernah minta ke desa (Pemerintah Desa, -red) untuk membantu kami mengadakan buku dan permainan namun belum ditanggapi,” ungkapnya.
Dalam perjalanan, Taman Baca Geri Gata lebih banyak ditinggal Mus. Pasalnya, Ia lebih banyak beraktifitas bersama petani dampingan LSM tempatnya bekerja, di daerah barat Sikka.
Meski demikian, Geri Gata tetap berjalan walaupun tida banyak perkembangan.
Yang pasti kehadiran Geri Gata memberi dampak pada proses belajar anak-anak di SDN Hepang.
Dino, salah satu guru berstatus ASN di SDN Hepang mengaku sejak ada Geri Gata anak-anak tidak keluyuran untuk bermain di sore hari. Di kelas pun beberapa anak yang sebelumnya tak lancar membaca mulai menujukkan perubahan.
Berkembang Ke Tenunan dan Kebun
Kelompok Tani Obor Sodang beristirahat di sela-sela pekerjaan membuka kebun bersama (Dok. Geri Gata)
Berapa tahun berjalan, tidak banyak yang berubah. Fasilitasnya masih sama, serba terbatas, pun buku-buku belum jua bertambah.
Tetapi ada yang berbeda, Geri Gata bukan lagi hanya tentang buku dan anak-anak. Kelompok ibu-ibu dan anak muda bergiat di Geri Gata. Dari buku, Geri Gata telah bergerak ke benang sampai cangkul.
Beberapa ibu membentuk kelompok Tenun Ikat yang diberi nama Popo Long. Mereka mendiskusikan tenunan tradisional dan mencari teknologi serta motif-motif yang hilang. Ada beberapa hal yang sudah direncanakan semisal membudidayakan tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami bahkan menanam kapas. Meski belum terlaksana karena beberapa hambatan mereka telah memulai.
Ada juga kelompok tani yang terdiri atas anak-anak muda dan orang tua. Di kelompok tani mereka berusaha mengembangkan pertanian organik. Laurens Egenius, Lukas Marianus, Kamilus Nong dan beberapa orang lagi tergabung di dalamnya.
Mereka membuat pestisida nabati, memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayuran sampai bersama-sama membuat jamu herbal untuk obat bagi ayam kampung.
Sekarang, kelompok tani yang menamakan dirinya Obor Sodang sedang membuka kebun bersama untuk ditanami.
“Kami mau buka tempat pembibitan,” ungkap Pampi.
Begitulah Geri Gata berkembang menjadi Rumah Belajar tempat berkumpul, berbagi pengetahun dan merencanakan kerja-kerja bersama. Belum banyak yang terlibat namun itu tidak membuat mereka patah semangat.