Ketika Pegiat Pertanian Komunitas Belajar Menulis, Untuk Apa?

Bagikan!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
Salah satu sesi pelatihan menulis dimana peserta mewawancarai petani di Sumba Barat Daya (Foto: Dok. Bina Desa)

lingkar-desa.com- Sejak Selasa (9/11/2021) hingga Jumat (12/11/2021) lalu, puluhan orang berkumpul di base camp Yayasan Peduli Kemanusiaan-Donders di Sumba Barat Daya. Mereka tidak sedang bermain apalagi merencanakan makar.

Rangkaian kegiatan selama 4 hari tersebut adalah workshop penulisan kreatif bagi pegiat pertanian. Sebanyak 24 peserta dari 5 kabupaten terlibat di dalamnya.

Mereka merupakan pegiat dan perwakilan komunitas dampingan dari 5 NGO diantaranya Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) dengan wilayah kerja Timor Tengah Utara dan Wahana Tani Mandiri (WTM) dwri Kabupaten Sikka. 
Selain itu, ada juga Yakines dari Kabupaten Manggarai Barat, Yayasan Peduli Kemanusiaan-Donders dari Sumba Barat Daya dan Yayasan Tana Nua Flores dari Ende.

Workshop dimaksud diselenggarakan oleh Yayasan Bina Desa melalui Indonesia Learning Exchange Program People Led Development (ILEP-PLD).

Dalam workshop penulisan kreatif ini, Bina Desa menghadirkan salah satu jurnalis senior dari media Tempo, Yosep Suprayogi.

Selain mendapat materi terkait penulisan kreatif, peserta workshop juga melakukan kunjungan lapangan di dua desa di Kabupaten Sumba Barat Daya yakni Desa Mawodana Kecamatan Wewa Timur dan Desa Kenduwela Kecamatan Kodi.

Daulat Pangan dan Inisiatif Rakyat

“Ketersediaan pangan, tantangan iklim serta bagaimana masyarakat mengatasinya, itu lah yang melatarbelakangi mengapa kita semua berkumpul di Sumba,” ungkap Heri Se, pegiat pertanian asal Ende kepada Lexi Beta, seorang petani asal Magepanda, Sikka dalam diskusi singkat kami beberapa saat setelah pembukaan kegiatan.

Hery Se sebelumnya pernah mengikuti workshop terkait People LED Development yang diselenggarakan Bina Desa di Ende beberapa tahun silam.

Jurnalis Tempo, Yosep Suprayogi memfasilitasi peserta belajar jurnalistik (Foto: Mus Muliadi)

Kondisi krisis pangan di NTT secara langsung berdampak pada harga pangan yang mahal dan pangan sehat yang tidak terjangkau bagi keluarga miskin di pedesaan.

Kondisi iklim juga menambah buruk kondisi pangan di NTT dimana musim kering berlangsung lebih panjang setiap tahunnya dan ekspansi tanaman komoditi (cash-crop) semakin mempersempit luasan lahan bagi tanaman pangan.

Ini menjadi dilema dalam komunitas karena semakin mengurangi peran komunitas dalam mengatur produksi, konsumsi dan distribusi pangan komunitas. Posisi keluarga petani dan perempuan pedesaan yang secara turun-temurun mengambil peran memimpin dalam pembangunan pertanian dan pangan menjadi semakin tidak berarti dan pada satu titik akan tergantikan oleh kekuatan modal.

Menurut John Sinulingga dari Bina Desa, Kedaulatan pangan merupakan sebuah cita-cita yang strategis dan untuk mewujudkannya dibutuhkan tenaga, pikiran, waktu dan logistic yang banyak dan panjang.

“Dalam mewujudkan kedaulatan pangan komunitas pedesaan tidak hanya berbenturan dengan kebijakan negara tetapi juga harus berhadapan dengan kebijakan global yang dimotori oleh lembaga keuangan internasional dan sangat memfasilitasi kepentingan korporasi-korporasi global. Tantangan-tantangan ini harus dihadapi oleh komunitas pedesaan dan masyarakat sipil dengan berbagai cara terutama dalam hal penguatan pengetahuan kolektif komunitas serta aksi bersama untuk melawan kekuatan besar tersebut,” tandas pegiat Yayasan Bina Desa tersebut di sela-sela kegiatan.

Berbagi Pengetahuan

Ditambahkannya Konsep people-led development ini merupakan proses-proses pendekatan pemberdayaan masyarakat pedesaan yang merupakan inisiatif komunitas sendiri. Atau dengan kata lain bahwa proses pembangunan di pedesaan itu memposisikan komunitas sebagai subjek utamanya.

Hery Se adalah pegiat NGO asal Ende, sementara Lexi Beta adalah petani organik asal Magepanda, Sikka. Ada juga Lia Seran, pegiat NGO asal TTU dan Yosfin Deli Olin, pendamping desa asal Manggarai Barat.

Para peserta workshop berpose di sela-sela kunjungan lapangan ke salah satu kebun petani di Sumba Barat Daya (Foto: Mus Muliadi)

Saya sendiri adalah jurnalis warga dan organizer kelompok tani milenial  asal Sikka. Itu lah gambaran beragamnya latar belakang peserta yang mengikuti kegiatan pelatihan ini.
Singkatnya, peserta yang hadir dalam kegiatan ini merupakan jaringan mitra PLD dan komunitas dampingan masing-masing.

Penguatan pengetahuan kolektif serta aksi bersama komunitas ini merupakan proses peningkatan dan penguatan pengalaman dan keterampilan petani dalam usaha memenuhi kebutuhan pangannya berdasarkan karakteristik lokal yang ada, atau yang disebut sebagai people led-development (PLD). 

Bagi Lexi, banyak hal menarik yang diperoleh dari proses ini selain keterampilan menulis. 

“Momen menarik pertama adalah kesempatan kunjungan ke komunitas dampingan YPK-Donders,” ungkapnya.

Dalam kesempatan tersebut peserta menemukan banyak hal menarik seperti petani difabel yang fokus membudidayakan Nenas dan ibu-ibu yang berinisiatif mendirikan rumah pintar sebagai pusat komunitas.

Sementara itu, momen menarik kedua adalah pertukaran benih lokal antar peserta berdasarkan kabupaten.

“Benih-benih lokal kita sudah banyak yang hilang berganti dengan benih pabrikan,” ungkap petani muda ini.

Benih lokal selain beragam dan kaya akan nutrisi, juga tahan terhadap kondisi iklim di NTT. Sayang sekali, benih-benih tersebut ditinggalkan petani dan dikonsumsi masyarakat sebagai makanan kelas dua setelah beras.

Saya sendiri menilai momen menarik adalah kesempatan di sela-sela kegiatan. Kesempatan seperti itu menjadi ruang perkenalan dan berbagi cerita di antara peserta. * * *