Keutuhan dan Warna Lokal Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit

Bagikan!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
Gambar: Kopong Bunga Lamawuran (Foto: Dok. Pribadi)

Secara umum kita memahami karya sastra sebagai sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Dalam dunia baru ini, pengarang menggunakan kata-kata untuk membangun alur cerita, tema, penokohan dan tokoh, latar cerita, dan berbagai hal lain, yang pada akhirnya mendukung keutuhan sebuah sebuah karya sastra.

Jika kita berupaya menilai sebuah karya sastra (jenis prosa), maka kata ‘utuh/keutuhan’ ini membawa kita pada sebuah pendekatan objektif, dan kita harus melihat kembali unsur intrinsik pembentuk karya tersebut.

Tentu banyak perdebatan mengenai kekurangan dan kelebihan pendekatan ini. Namun, kita juga harus mengakui bahwa, untuk menilai sebuah karya secara lebih komplit, salah satu hal paling pertama yang kita lakukan adalah meneliti hal-hal dasar pembentuk karya sastra tersebut. Dengan kata lain, untuk bisa menilai keberhasilan sebuah cerpen, misalnya, kita harus memastikan dulu apakah tulisan yang ada di depan kita itu cerpen atau bukan!

Apakah novel yang kita baca itu merupakan karya sastra atau bukan! Seberapa berhasilkah logika dan alur yang dipakai sang pengarang untuk membentuk karyanya? Karena itu, menimbang dan memberi kritikan atas sebuah karya sastra dari sisi pendekatan objektif menjadi kerja yang penting, demi kemajuan sastrawan, karya sastra, dan pengembangan pemahaman masyarakat awam terhadap karya sastra.

Salah satu cerita pendek yang ingin saya bahas dalam artikel singkat ini adalah Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit. Cerpen ini berwarna lokal. Karya-karya jenis ini banyak bermunculan dalam sastra Indonesia. Kemunculannya ini, tak hanya menunjukkan bahwa ada sebuah budaya lokal yang perlu diketahui, tapi juga perlu diperjuangkan eksistensinya. Dalam elaborasinya, hampir selalu ada pertentangan antara dua kebudayaan, misalnya budaya luar berbenturan dengan budaya setempat. Budaya luar dilihat sebagai musuh yang harus diperangi, karena kehadirannya membawa dampak kurang menguntungkan bagi budaya-budaya lokal. Atau, bisa juga berupa sistem-sistem nilai yang dipaksakan, sehingga mengancam eksistensi budaya lokal.  

Cerpen Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang karya Silvester Petara Hurit diterbitkan oleh Kompas pada 19 April 2020, dan menjadi salah satu karya yang masuk dalam Cerpen Nominasi Pilihan Kompas 2020. Pengarang berasal dari Flores Timur, dan lebih dikenal sebagai seorang esais, penulis lakon, dan sutradara teater. Beberapa cerpennya terbit juga di Tempo, Jawa Pos, dan beberapa media lainnya. Cerpen-cerpennya selalu mengisahkan tradisi-tradisi lokal yang kerap berubah dan tersisihkan karena perubahan zaman.

Cerita Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang ini mengisahkan kepulangan seorang tokoh bernama Nara ke kampung halamannya. Kisah dimulai dengan kutipan ingatan Nara akan pesan Ba Tala (kakek Nara), kepada ayah Nara di ladang beberapa puluh tahun lalu. Pada intinya, sang kakek berpesan kepada anak cucunya bahwa tanah tempat tinggal mereka, ladang mereka, telah menghidupi ratusan bahkan ribuan leluhur. Juga, si kakek menginginkan agar sang anak selalu menanam padi. Padi-padi yang ditanam ini tidak sama dengan beras-beras yang dibeli di toko-toko, karena memakan beras hasil tanam sendiri lebih mengenyangkan, demikianlah menurut sang kakek.

Pesan sang kakek ini seperti ‘mantra’ dan selalu mengingatkan Nara untuk pulang ke kampung halamannya. Dan ‘mantra’ ini berhasil. Nara akhirnya pulang ke Flores Timur, ke kampung halamannya.

Sang pemuda ini begitu kaget, karena saat memasuki kampung bersama sahabatnya, Boli, dia menemukan pohon-pohon beringin telah ditebang, tradisi berladang telah ditinggalkan, dan Nara mengutarakan beberapa hal yang mengganjal pikirannya. Dia menyayangkan betapa orang-orang kini lebih banyak menanam pohon mete, karena menurutnya, pohon mete itu rakus.

Nara kemudian bertemu kembali dengan kedua orangtuanya, dan sepanjang cerita, pemuda ini mendengar nasihat-nasihat dari mereka. Nara sebenarnya tidak ingin pulang ke kampung halamannya, karena kampung terlalu jauh dari kota, tempat di mana dia bisa mewujudkan segala cita-citanya. Pikiran mendua ini masih membayanginya bahkan sampai dia bertemu dengan orangtuanya. Sang ibu dan ayah menasihati dia agar tetap bertahan di tanah kelahirannya, sehinggga bisa meneruskan tradisi leluhur mereka. Kedua orangtua ini menuturkan nilai-nilai tradisional setempat, yang mengajarkan manusia untuk selalu dekat dengan alam, menghargai segala jenis makhluk hidup, dan hidup selaras dengan semesta.  

Nara akhirnya mengalah, dan menetap di kampung halamannya. Pada suatu hari, mereka berencana menggelar upacara penanaman padi. Pada saat upacara itu berlangsung, datanglah sejumlah orang berseragam dan mengklaim bahwa tanah atau kebun tersebut telah dibeli oleh seorang bernama Tuan James. Seluruh anggota keluarga Nara kebingungan, karena mereka tidak tahu siapa yang menjual tanah tersebut. Perang mulut pun terjadi, dan berakhir dengan ‘letusan dan jerit pecah.’

Keutuhan Cerita

Secara umum, hampir sama dengan etnis lainnya, masyarakat Lamaholot adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Adat istiadat dan budaya dipegang teguh. Mereka berkeyakinan bahwa jika ada aturan adat istiadat yang dilanggar, maka mereka akan memperoleh imbasnya. Dengan kepercayaan seperti ini, bisa dipastikan bahwa mereka akan menempuh berbagai cara untuk tetap mempertahankan segala warisan leluhurnya.

Namun dalam cerpen Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang, kita berhadapan dengan sebuah realitas yang paradoks. Salah satu desa di Lamaholot ini (seting cerita ini terjadi di sebuah desa yang tidak disebutkan namanya, tapi kita tahu bahwa cerita ini terjadi pada masyarakat Lamaholot dari nama-nama tokohnya, juga tradisi yang dimunculkan) tidak mampu memertahankan adat istiadat warisan leluhurnya, dengan alasan yang tidak terlalu jelas dalam tubuh cerita. Masyarakat di tempat ini dikisahkan tidak bisa lagi memertahankan adat istiadatnya, tradisi berladangnya, dan berbagai tradisi lainnya, karena dilarang. Ini menjadi sebuah informasi yang menarik, karena tentu saja kita ingin mengetahui bagaimana sebuah kondisi semacam ini tercipta. Tapi sayang sekali, kita tidak menemukan informasi tersebut dalam tubuh cerita. Informasi ini sangat penting untuk kita, tidak hanya sebagai bahan sejarah (kalau memang hal ini benar-benar terjadi), tapi juga untuk mengetahui keutuhan cerita.

Pengarang mengemukakan beberapa fakta cerita bahwa tetua adat telah ditangkap karena mendirikan agama baru, pohon-pohon telah ditebang, tradisi berladang telah dilarang, tapi kita tidak menemukan keutuhan atau informasi ini dalam tubuh cerita. Saya mengutip dialog antara Nara dan Boli:

… Maka ketika masuk kampung, ia memberondongi Boli, teman bermain masa kecil, yang menjemputnya dengan sekian pertanyaan.

“Di mana pohon-pohon besar dulu?”

“Sudah habis ditebang dengan gergaji mesin, ditraktor, diracuni, dan dibakar.”

“Tak ada yang mencegahnya?”

“Siapa yang mencegah?! Pohon-pohon besar dianggap sarangnya kuntilanak, kurcaci, roh jahat. Tempat orang menyembah berhala serta bertapa jadi tukang sihir, santet dan semacamnya.”

“Tetua adat?”

“Mereka dihukum selama dua bulan dengan tuduhan mendirikan agama baru.”

Menurut saya, beberapa informasi dalam dialog yang disampaikan Boli kepada Nara ini menjadi infromasi penting yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Sayang sekali, saya akhirnya merasa tidak puas karena dialog ini seperti muncul begitu saja tanpa sebuah konteks yang jelas. Tidak ada adegan, dialog, maupun narasi yang menjelaskan siapa yang membakar, siapa yang menangkap tetua adat, bagaimana rupa agama baru yang dituduhkan itu, dan lain sebagainya. Informasi ini seperti berdiri sendiri, tak memiliki logika cerita, dan hadir tanpa ada sebab. Padahal, sebuah cerita fiksi memiliki keutuhan tersendiri sebagai sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang. Akan sangat bermasalah jika sang pengarang mengira pembaca sudah mengetahui konteks cerita, tanpa dia sendiri memasukkan konteks tersebut. Bahkan untuk kisah-kisah populer, yang sudah diketahui banyak orang sekalipun, penulis sebaiknya memasukan konteks cerita, karena sebuah karya fiksi adalah sebuah dunia baru yang diciptakan oleh pengarang.

Informasi tentang penangkapan tetua adat, penebangan pohon-pohon, pelarangan ritual berladang, justru kita temukan bukan dalam tubuh cerita, tapi dalam sebuah artikel yang ditulis oleh pengarang sendiri pada media yang berbeda. Artikel berjudul “Memulihkan Trauma Kultural – Catatan dari Flores Timur” ini ditayang di media daring tatkala.co pada 28 Januari 2019. Dalam artikel ini, penulis menjelaskan perusakan rumah adat di desa Lewotala Lewolema di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 28 Agustus 1970. Rumah adat yang mempersatukan masyarakat 5 kampung itu dibakar di hadapan mayoritas masyarakat yang menyakralkannya. Para tetua adat tak berdaya, hanya bisa menyaksikan bagaimana rumah adat tersebut dibongkar lalu dibakar oleh anak-anak kampung yang bertugas sebagai hansip. Para tetua adat juga dituduh mendirikan agama baru, dan mereka lalu mendapat predikat baru: setan, kafir, dan pemuja berhala. Berbagai ritus adat, simbol-simbol adat, tarian dan musik tradisional, dilarang. Selama puluhan tahun, semua hal yang menyangkut adat istiadat di 5 kampung ini (Lewotala, Lamatou, Belogili, Kawaliwu, dan Leworahang) dilarang. Namun, situasi ini telah mendapatkan momen pemulihan pada tanggal 5-7 Oktober 2018, sewaktu masyarakat menggelar atraksi budaya secara kolektif dalam Festival Nubun Tawan.

Apakah konteks sejarah inikah yang menjadi rujukan dialog antara Boli dan Nara? Kita tidak tahu, karena tidak ada situasi tersebut dalam cerita pendek ini. Menurut saya, agar cerita ini mengalir dengan baik, hal-hal krusial mengenai dialog tersebut diikutsertakan juga dalam tubuh cerita, walau tidak secara detail. Harus ada ruang untuk menghadirkan logika cerita yang bisa diterima, sehingga tidak membuat kita kebingungan, dan berpikiran dialog-dialog tersebut diambil entah dari mana begitu saja tanpa ada konteks cerita yang jelas.

Dari komentar yang saya ikuti di Facebook, beberapa pembaca mengatakan bahwa cerpen ini menarik karena dia muncul sebagai satu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Cerpen ini mau membela tradisi-tradisi lokal yang makin tergerus karena kapitalisme, dan juga memberikan pesan moral supaya warga tidak boleh menjual tanahnya. Namun untuk bisa menjatuhkan penilain semacam itu, kita mesti secara teliti membaca keseluruhan kisahnya. Saya mengutip satu beberapa kalimat lagi yang menunjukkan hal itu:

Bagaimana orang menghormati padi secara sungguh, menjaga malam-malam dengan hening, tak melakukan pesta pora dan kegaduhan, sedang tanah sebagai ibu yang melahirkan dan memangku manusia saja kini telah dijual?

Tapi, sekali lagi saya mesti mengerutkan kening dan bertanya: di bagian mana seorang melakukan transaksi jual beli tanah? Kalimat tersebut muncul begitu saja, tanpa ada sebuah kondisi yang memungkinkan dia bisa muncul. Kalimat kutipan di atas begitu abstrak, seperti hilang konteks, dan mengada-ada. Tidak ada siapapun dalam cerita itu yang melakukan jual beli tanah, karena itu narasinya menjadi kurang mengena. Salah satu unsur penting dalam karya fiksi adalah keutuhan. Keutuhan ini bisa kita ukur dari logika-logika cerita yang dipakai oleh pengarang. Sebagai contoh, jika saya menggambarkan seorang tokoh menderita sakit, maka saya harus menceritakan pula bagaimana dia sakit. Logika dalam cerita haruslah seperti itu. Suatu kondisi sakit tidak muncul begitu saja, tapi harus ada sebab-akibatnya. Logika itulah yang membuat sebuah kisah menjadi cerita fiksi.

Ketakutuhan logika cerita juga masih kita dapatkan pada bagian akhir cerita, yaitu sewaktu Nara dan keluarganya melakukan ritual penanaman padi. Pada bagian ini, dengan tiba-tiba pengarang menghadirkan sejumlah tokoh berseragam, dan mengklaim bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh Tuan James. Walau tidak digambarkan identitas secara jelas, tapi kemungkinan orang-orang berseragam ini adalah para polisi. Para polisi ini membawa sertifikat tanah, yang menunjukkan bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh si Tuan James ini. Tapi lagi-lagi, kita bingung. Di siapa tanah itu dibeli oleh Tuan James? Mengapa orangtua dan keluarga Nara, sebagai pemilik tanah, tidak pernah mengetahui, paling tidak mendengar isu, bahwa tanah mereka telah dibeli oleh si orang asing ini? Menghadirkan sebuah tokoh secara tiba-tiba, apalagi pada bagian klimaks dari cerita, seolah-olah mengabarkan kepada pembaca bahwa tak perlu ada keutuhan dalam sebuah cerita. Cerita boleh ditulis begitu saja, dengan penokohan dan tokoh begitu saja, dan tidak apa-apa kalau tak ada logika dalam cerita itu. Ini tentu saja cara fatal bagi seorang pengarang dalam mengakhiri kisahnya. Apalagi, pada adegan inilah, sejumlah pembaca mengklaim bahwa cerpen ini membawa aura perlawanan terhadap para kapitalis.  Menurut saya tidaklah demikian, karena pengarang tidak menggambarkan secara baik asal muasal terjadinya konflik ini. Konflik ini hadir begitu saja, tanpa ada sebab. Dalam sebuah wawancara yang ditayang pada sebuah media massa, pengarang mengatakan bahwa yang lebih penting dari sebuah karya adalah pesan yang ingin disampaikan. Saya sependapat. Tapi jangan lupa bahwa kita sedang berhadapan dengan karya fiksi. Dan fiksi bukan tanpa logika.

Mengenai penokohan dan tokoh yang ditampilkan, akan menjadi lebih menarik jika kita melihat dari sisi kajian pascakolonial, yaitu bagaimana seorang yang pergi merantau, menempuh pendidikan formal, pulang ke kampung halamannya, lalu menyalahkan berbagai hal yang dilakukan orang-orang kampung tanpa melihat konteks kehidupan yang telah terbentuk. Tokoh Nara, bisa menjadi representasi dari orang-orang berpendidikan formal yang tidak lagi mengenal adat istiadat budayanya, dan selalu memandang dengan cara yang keliru apa-apa yang dilakukan orang kampung. Begitu juga dengan kedua orangtua Nara yang selalu memberikan petuah, seolah-olah Nara adalah seorang bocah yang baru mengetahui gemerlapnya dunia.

Dari sisi pendekatan objektif, saya melihat tidak begitu berfungsinya tokoh ini sebagai seorang berpendidikan yang pulang ke kampung halamannya, karena pendidikannya memang tidak berguna dalam konteks cerita. Orang-orang berpendidikan, sebagaimana yang selama ini kita yakini, akan selalu mengandalkan rasionalitas untuk memecahkan sebuah persoalan. Orang berpendidikan, seharusnya dibimbing oleh rasio-nya. Dia akan mencari cara agar sebuah persoalan bisa diselesaikan tanpa mengorbankan berbagai pihak. Namun hal ini tidak kita dapatkan dalam cerita ini yang justru menyodorkan seorang tokoh utama berpendidikan formal. Kisah ini berakhir dengan adegan perang, letusan senjata, dan hal-hal semacam itulah.

Warna lokal

Terlepas dari beberapa hal yang telah dibahas di atas, cerita pendek ini mau menghadirkan sebuah kisah warna lokal untuk kita renungkan. Dalam dunia dewasa ini, nilai-nilai adat istiadat kadang terpinggirkan dengan kehadiran teknologi dan berbagai perkembangan lainnya. Cerita ini mau mengingatkan kita untuk selalu menjaga dan merawat nilai-nilai luhur warisan leluhur, berupaya sebisa mungkin agar titipan itu tidak hilang dan sirna.

Warna lokal seperti apa yang ingin ditampilkan dalam cerpen ini? Berbeda dengan pendekatan objektif yang meluluh melihat sisi intrinsik karya, atau sisi estetiknya, sebuah cerita juga akan selalu menampilkan nilai-nilai, pandangan hidup pada suatu masyarakat ataupun perorangan. Cerita ini mau menggugat sistem pendidikan, ataupun gaya hidup masyarakat modern yang sepertinya tidak lagi mengenal adat istiadat. Hal-hal yang mistis, tidak masuk logika, telah dinilai ketinggalan zaman. Padahal, adat istiadat ataupun hal-hal mistis adalah kualitas hidup yang, bisa dikatakan, tidak bisa dipahami oleh logika.

Pengarang menampilkan tokoh Nara sebagai contoh bagaimana seorang yang berpendidikan formal bisa saja terjebak dalam logika berpikirnya sendiri, sehingga tidak lagi memahami kualitas hidup yang selama ini telah diwariskan oleh nenek moyang. Nara digambarkan sebagai tokoh yang hampir tidak bisa berbicara di depan kedua orangtuanya, seperti seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, sewaktu kedua orangtua itu berbicara tentang budaya dan adat istiadat setempat. Pengarang menampilkan karakter Nara ini sebagai sebuah kritikan, juga sebuah peringatan, bahwa pendidikan formal bisa saja menjauhkan seseorang dari lingkungan sekitarnya, terutama dari adat istiadatnya.

Kedua orangtua Nara akhirnya menuturkan kembali, seperti mengingatkan, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. Ketenaran, pendidikan, kegemerlapan hidup, yang didapat manusia, tak akan berarti apa-apa di hadapan alam semesta. Karena itu, apapun yang dilakuan manusia, harus menyelaraskannya juga dengan alam semesta. Bahkan hanya untuk aktivitas ‘makan’, manusia seharusnya selalu mengingat dengan alam, yaitu memberi hak kepada tanah sebagai lambang pemberi kehidupan.

Adegan ayah Nara menuangkan arak ke tanah sebelum diminum, adalah sebuah bentuk penghormatan terhadap sesuatu yang lebih tinggi, yang bisa memberi kehidupan di atasnya. Tanah adalah penyedia hidup, dan di atasnya seluruh makhluk hidup bisa melangsungkan kehidupannya. Semua kehidupan bisa terjadi karena ada ‘tanah’. Karena itu, rasa syukur haruslah diberikan kepadanya. Tentu saja tanah hanyalah sebuah simbol dari sesuatu yang lebih tinggi, yang secara populer disebut dengan Tuhan. Dalam tradisi masyarakat Lamaholot, mereka menyebutnya sebagai ‘Rera Wulan Tana Ekan’.

Rera Wulan Tana Ekan adalah sebutan untuk Wujud Tertinggi, dan disimbolkan oleh matahari, bulan, tanah, dan semesta (lingkungan). Secara harafiah, rera berarti matahari, wulan ‘bulan’, tana ‘tanah’ dan ekan ‘lingkungan/ alam semesta’. Memberi minum kepada tanah, adalah tindakan syukur yang harus dilakukan oleh seorang manusia kepada alam semesta, Tuhan, Wujud Tertinggi, karena kehidupan berasal dari sana. Tentu saja rasa syukur ini tidak hanya ditujukan kepada tanah, tetapi juga kepada semua makhluk hidup yang hidup di semesta ini.

Dengan pandangan seperti itu, pengarang mau menyadarkan kita bahwa, manusia adalah satu elemen kecil dari sebuah kehidupan yang lebih besar. Manusia tidak boleh menganggap diri sebagai sebuah makhluk yang lebih besar, dan berhak menguasai yang lain. Tidak. Manusia hanyalah bagian kecil dari sebuah semesta yang lebih besar, sehingga apapun yang dia dapat dalam hidup (kebahagiaan, harta benda, dll) haruslah dibagikan juga kepada elemen pembentuk kehidupan yang lain.

Pengarang juga mau mengajak kita untuk memahami lebih mendalam bagaimana peran adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyakarat Lamaholot, fungsi adat istiadat adalah menyelaraskan hubungan manusia dengan sang Pencipta, manusia dengan alam, dan menusia dengan sesama. Karena itu, jika seorang manusia melakukan sebuah kesalahan, seperti membakar hutan, ataupun merusakan tempat-tempat keramat, dia harus membuat ritual adat, agar bisa berdamai dengan lingkungan atau alam semesta. Jika dia tidak membuat ritual tersebut, maka alam akan menuntut balas atasnya, dan manusia itu akan mendapat kesialan dalam hidupnya. Jika tidak melakukan ritual perdamaian itu, apapun yang dia lakukan, alam akan selalu mengingatkan dirinya bahwa ada sebuah kesalahan yang belum dipulihkan.

Adegan terakhir dalam cerita, yaitu luapan emosi antara keluarga Nara dengan utusan Tuan James juga mau menggambarkan bahwa ada hal-hal krusial yang mesti dipertahankan mati-matian oleh masyarakat Lamaholot. Tanah adalah sumber kehidupan, tapi bisa juga menjadi sumber pertikaian. Sesungguhnya tidak betul jika kita mengklaim bahwa tanah adalah sumber pertikaian. Semua pertikaian tentu saja berawal mula dari manusia. Tapi konteks cerita ini mau mengingatkan bahwa tanah adalah sebuah hak yang mesti dijaga dengan baik. Kasus pertikaian, pembunuhan, dan peperangan, kerap terjadi di Lamaholot, karena memperebutkan tanah. Semua ini terjadi karena orang-orang menganggap tanah adalah benda sakral, yang tidak boleh diganggu oleh orang lain. Jika bukan tanah kita, lebih bagus jangan mengklaimnya sebagai milik kita. Karena pasti ada perang. Dan memang perang terjadi pada akhir cerita ini, karena memperebutkan tanah. Pada bagian ini, saya juga ingin mengingatkan bahwa perang tidak harus terjadi. Ada cara-cara damai yang mesti dilakukan, dan adat istiadat menyiapkan ruang itu. Tapi ruang itu tidak ada dalam cerita. Dengan kata lain, pengarang membawa alur berpikir kita bahwa hanya ada satu cara mempertahankan tanah: perang. Jika hanya itu yang mau disampaikan pengarang, lalu apa gunanya tokoh Nara sebagai seorang berpendidikan?

Saya kira nilai-nilai, hal-hal agung, inilah yang ingin dibagikan pengarang kepada para pembaca melalui cerpen Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang. Pengarang mau mengingatkan kepada semua orang, bahwa manusia adalah satu elemen semesta, dan untuk menjaga kelangsungan semesta, manusia mesti bersyukur, berbagi, dan menghargai semua ciptaan yang ada di dunia ini. Dari sisi inilah, cerpen ini menjadi sebuah karya yang mesti menjadi bahan permenungan seluruh umat manusia, sekaligus sesama di antara kita saling mengajak untuk menghargai bumi yang kita cintai ini.

Sebagai penutup, saya ingin menyinggung kembali bahwa ada dua hal penting yang bisa kita lihat dari sebuah karya sastra. Yang pertama adalah unsur estetiknya, yaitu hal-hal instrinsik pembentuk karya. Kedua ialah nilai-nilai hidup, pandangan hidup masyarakat, dan berbagai keagungan lain yang ingin disampaikan oleh sang pengarang. Orang kadang menyebut kedua hal ini sebagai perpaduan antara isi dan bentuk. Dan sebagai pengarang, patut dipertimbangkan secara baik kedua unsur ini. Dari sisi bentuk atau estetik karya, cerpen Mengantar Benih Padi Terakhir ke Ladang ini masih memiliki beberapa kekurangan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Namun, cerpen ini menghadirkan warna lokal, atau warisan agung leluhur, yang perlu kita renungkan bersama. ***