
“Beta son makan, kalau beta pu maitua itu dia pu hobi,” celetuk saya ketika disodorkan siri pinang oleh salah seorang bapak anggota kelompok Paloil Tob.
Hari itu, Jumat (25/11/2022), kami rombongan peserta Diklat Pengembangan Kapasitas Pendamping Perhutanan Sosial dari Forest Program V berkunjung ke Desa Silu, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Ini adalah bagian dari diklat setelah 3 hari belajar teori di Camplong. Saya adalah salah satu peserta pelatihan dari Sikka.
Sesi wawancara dimulai, saya bergabung di kelompok kelembagaan. Kelompok kami akan mendalami soal kelembagaan kelompok Paloil Tob sementara dua kelompok lainnya mendalami soal tata kelola kawasan dan tata kelola usaha. Saya sedikit menangkap penggalan cerita dari penjelasan Ketua Kelompok Paloil Tob, Melkias Tulle. Saya tidak merekam secara utuh penjelasan itu karena suasana cukup ramai oleh hujan pertanyaan teman-teman.
Masih hangat dalam ingatan saya dari cerita ketua kelompok Paloil Tob. Usai masa kontrak Hutan Tanaman Industri (HTI) Tahun 2009 warga memasuki area kelolah dan menggarap area kawasan. Selama menggarap mereka langsung membentuk kelolompok tani. KLHK kupang mendatangi mereka. Tidak ada cerita perlawanan di sini. Akhirnya mereka bersepakat untuk membentuk Kelompok Tani Hutan atau disebut KTH selanjutnya mendapat legalitas pengelolaan dengan SK Menteri LHK.
Paloil Tob bukan KTH biasa. Mereka sudah memiliki produk olahan yang mulai dikenal publik bernama kacang mete Alekot. Alekot sudah dipasarkan di sejumlah pasar modern di Kota Kupang. Siapa yang menyangka, produk ini hasil olahan petani hutan dari Fatuleu.
Sekilas ‘Paloil Tob’
Kelompok Tani Paloil Tob dibentuk pada 17 November 2009 dengan Melkias Tulle selaku ketua kelompok. Paloil Tob sejatinya bermakna gotong royong. Pada awal terbentuknya Paloil Tob beranggotakan 25 orang. Pada 13 Oktober 2017 Paloil Tob resmi menjadi Kelompok Tani Hutan (KTH). Rupanya kelompok ini menarik perhatian warga lain untuk bergabung hingga pada tahun 2019 anggota kelompok bertambah menjadi 33 orang.
Atas usaha dan kerja sama yang kuat status kelompok mulai berubah. Dari kelas pemula pada tahun 2017 selanjutnya menjadi kelas Madya pada Tahun 2018. Tahun 2019 Paloil Tob mengusulkan ke Kementerian LHK menjadi kelas mandiri dan itu terjawab di Tahun 2020 hingga akhirnya mendapat SK Menteri LHK di Tahun 2022.
Menurut Melkias Tulle, yang menarik dari Paloil Tob itu soal kerja sama. Membangun sekertariat secara swadaya dari iuran anggota atau mereka harus mencari cara mendapatkan bantuan demi tujuan kelompok. Saat ini Paloil Tob punya sekertariat dan sedang membangun aula pertemuan. Sekretariat dibangun secara swadaya oleh anggota kelompok.
Selain soal gotong royong, Paloil Tob juga membuka ruang keterlibatan anak muda. Salah satu anak muda yang terlibat adalah Yoyarid A. Tulle. Lulusan salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang ini memilih mengabdikan diri membantu para petani di sekitarnya ketimbang mencari kerja di kota. Ia dipercaya menangani seksi usaha KTH Paloil Tob.
“Mungkin saja banyak anak muda yang tergiur dengan kerja pegawai kantoran dan melihat bekerja sebagai petani adalah pekerjaan kotor bagi mereka. Saya tidak. Saya lebih memilih membantu petani dan saya pun bermain dengan lumpur dan bermandi keringat bersama mereka,” terang pemuda yang biasa disapa Oya tersebut.
Kacang Mete ‘Alekot’
Oya menuturkan, tahun 2019 mereka memulai usaha kacang mete. Berbicara soal usaha, kebanyakan orang akan berpikir soal berapa uang yang mereka miliki dan bagaimana mungkin sebuah usaha bisa berjalan tanpa uang. “Kami tidak punya uang, kami memulai dari nol. Modal utama kami adalah tekad baik bahwa kami ingin berubah, itu saja modal utama kami,” tegasnya.

Selain tekad ingin berubah, keterampilan juga merupakan modal penting bagi mereka memulai usaha. “Kami sudah mengikuti Diklat di BDLHK Kupang terkait Budidaya jambu mete dan pengolahan hasil dari jambu mete,” terangnya.
Berbekal mente dari kebun masing-masing dan keterampilan yang telah mereka pelajari dimulailah usaha pengolahan biji mete menjadi kacang mete.
Keterbatasan modal diatasi dengan iuran Rp 5000 per bulan untuk setiap anggota. Selain itu, masing-masing anggota juga wajib mengumpulkan 5 kg biji mete. Kacang mete yang dikumpulkan lantas dijual untuk dijadikan modal usaha. Disepakati bawah semua anggota berperan sebagai produsen untuk memproduksi bahan baku jambu mete selanjutnya dibeli oleh seksi usaha. Di seksi usaha biji mete selanjutnya diolah dengan cara dikacik dan dioven menjadi kacang mete.
Seksi usaha melakukan survei pasar dan membangun kerja sama dengan para pihak untuk keberlanjutan usaha seperti halnya legalitas dan kelayakan konsumsi kacang mete.
Bagi Oya cara ini adalah salah satu strategi bagaimana memutus rantai penjualan dari petani mete kepada tengkulak yang menurutnya selama ini bisa sebebas-bebasnya mempermainkan harga.
Meski demikian, dalam menjalankan KTH Paloil Tob tidak luput dari keterbatasan. Pengolahan dari biji mete menjadi kacang mete masih menggunakan alat kacik mete manual. Untuk menghasilkan kacang mete peran anggota sebagai seksi produksi terdiri dari bapak-bapak dan mama-mama dari anggota kelompok. Memakai alat manual bapak-bapak mengkacik biji mete dan ibu-ibu membersihkan (mensortir dan memisahkan kulit ari dari kacang dan memanggang di oven hingga packing).

“Sebelum mendapat kemasan yang standar kami memulai dari plastik gula biasa sebagai bungkusan kacang mete. Selain menggunakan alat kacik manual kami juga berada di daerah yang belum ada listrik. Dalam membangun komunikasi dan kerja sama kami mengalami kendala karena signal tidak ada. Namun berbagai upaya terus kami lakukan untuk mengatasi hal itu dan terus maju hingga hari ini,” tandasnya.
Kacang mete itu lantas diberi nama kacang mete Alekot. Kacang mete Alekot telah mendapat izin dari Dinas Kesehatan dan Disperindag. Kini mendapat sertifikat halal dari Mejelis Ulama Indonesia (MUI). Saat ini kacang mete Alekot menembus pasar modern. Di kota Kupang kacang mete Alekot tersebar di 7 swalayan dan 1 hotel. Menurut Oya, metode pemasaran dilakukan dengan dua cara yakni cara offline dan online.
Begitulah cerita sukses dan mungkin saja ada nilai lebih dari sekedar gurihnya kacang mete Alekot dari Kelompok Tani Hutan Paloil Tob di Desa Silu, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang.
Penulis: Mus Muliadi
Editor: Are de Peskim