
Tahun 2019 lalu saya berkunjung ke Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, menyambangi seorang kerabat sekaligus membuat tulisan perjalanan (travel writing) untuk suatu majalah penerbangan dan surat kabar lokal. Lebih dari seminggu berada di sana, saya sempat mengamati beberapa hal ataupun isu terkait pengelolaan destinasi pariwisata di pulau bagian selatan Indonesia itu.
Pertama-tama, beberapa tempat wisata berbeton nan fotogenik, terutama di dekat Kota Ba’a, ibukota Kabupaten Rote Ndao, tampak agak kurang terperhatikan; tidak ada petugas yang berjaga, loket kasir berantakan, dan berseraknya sampah plastik juga daun kering- sebuah perkara konvensional yang kerap dikeluhkan di mana-mana.
Berikutnya, di wilayah terluar bagian barat daya, tanah-tanah pinggir pantai dikapling dengan pagar batu karang dan coran semen, baik untuk kepentingan spot wisata besar maupun resort atau vila pribadi. Waktu berbincang dengan seorang warga tempatan, saya mendapatkan informasi bahwa lahan sekitar kawasan bahari itu memang dijual sekenanya ketimbang dibiarkan kosong dan kering kerontang (EKORA NTT, 2019).
Akan tetapi, di antara itu, terdapat juga beberapa tempat kunjungan yang memasang plang penanda bahwa itu dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan komunitas kewargaan tertentu. Ada semacam usaha dari masyarakat untuk mengelola ruang hidupnya secara mandiri. Atau mungkin juga itu dilakukan sebagai respons spontan atas keberadaan spot-spot lain yang mengakomodasi kunjungan massal dan berskala industrial.
Situasi agak berbeda saya temukan di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya; Maumere, Pulau Flores. Sebuah wisata pantai terletak di wilayah barat dekat lintasan trans-Flores Maumere-Ende menjadi arena saling “tarik” tarif oleh warga sekitar. Pengunjung yang datang ke situ harus membayar di sejumlah titik karena jalan masuk yang dilewati merupakan lahan milik warga.
Sepintas kilas orang akan menyalahkan masyarakat. Namun, kalau mau dilihat lebih jauh, contoh kasus di pantai bernama Koka ini justru ada pada ketidakjelasan intervensi pemerintah (daerah) yang hanya membangun, atau lebih tepatnya memberikan akses, kemudian tinggalkan begitu saja; membiarkan warga berebutan remah-remah uang dari kantong wisatawan. Problem kompleks lainnya juga berkelindan erat dengan hubungan tidak pasti antara investor pemilik Hak Guna Bangunan dan masyarakat lokal, terutama para pemilik tanah (Ola Sura, 2019).
Dalam artikel ini saya tidak hendak membuat perbandingan antara satu tempat wisata dan tempat wisata lainnya ataupun menyoroti secara khusus konsep juga pengelolaan pariwisata di Nusa Tenggara Timur. Artikel ini hendak menjelaskan pengaruh industri pariwisata terhadap dinamika sosial-ekonomi kewargaan secara umum dan bagaimana hal semacam itu disiasati agar tidak setiap wilayah (baca: ruang-ruang kecil) menjadi arena akumulasi kapital berpita komersial atau industrial atau premium atau apa pun istilah yang tepat merujuk pada peminggiran hak-hak hidup masyarakat banyak.
Tentu, penetrasi ide kapitalisme-neoliberalisme yang begitu masif memberikan tantangan serius bagi pola pikir kita bahwa pariwisata harus berarti, “semenisasi”, “gusurisasi”, “hotelnisasi”, bahkan lebih parah lagi di beberapa tempat, dalil “konservasi” dijadikan kedok oleh Negara untuk model pembangunan yang benar-benar alien alias asing (bdk. Hopkins, 2014; Afioma, 2016; Dahir, 2018). Imbasnya, bukan hanya tempat hidup orang-orang lokal yang tersisihkan, melainkan juga gerak decak kulturnya; bukan hanya tempat cari makan yang berpindah, melainkan juga cara pandang terhadap dinamika sosial-ekonomi modernitas.
Dari situ, tulisan ini juga saya maksudkan untuk membincangkan ikhtisar potensi pariwisata kerakyatan yang seyogianya lebih berfokus pada model/bentuk wisata tempatan atau komunitas dalam lokus geografis yang kecil. Ini terutama merujuk pada desa, kampung, dusun ataupun unit-unit objek potensi wisata yang khas dan tidak melulu benda semata tetapi juga pengetahuan dan kearifan-kearifan tertentu.
Meskipun begitu, tulisan ini juga akan membentang sekelumit catatan kritis atas pendekatan termaktub karena tidak setiap dimensi ruang kewargaan mampu “dipotensikan” sebagai arena wisata, terlepas dari gagasannya yang bersekop kecil pun mengedepankan kepentingan seluruh elemen masyarakat.
Menyitir cara pandang materialisme kultural sebagaimana yang ditawarkan Harris (1979), kemajuan (suprastruktur) suatu komunitas muncul dari beresnya prasyarat-prasyarat paling mendasar (infrastruktur) sehingga tidak menimbulkan kerenggangan hubungan sosial satu sama lain dalam tatanan strukturnya.
Di beberapa tempat ataupun Negara, bentuk pariwisata tempatan ini menemukan sejumlah tantangan tersebab dinamika internal di dalam kelompok masyarakat ataupun pengaturan semena-mena dari berbagai stakeholder (Timothy, 2002; Jamieson, Goodwin and Edmunds, 2004; Sharply, 2009).
Pariwisata Tempatan: Dialektika Dunia Lama dan Dunia Baru
Bagi ilmuwan sosial dan humaniora, terutama pengkaji bidang sosial-budaya, paradigma pariwisata kerakyatan -untuk mengaitkannya dengan konteks yang lebih global- memiliki sejumlah penyebutan teknis-praktis, seperti Community Based Tourism, Ecotourism, Ethno-ecotourism, Agri-tourism, Cottage-tourism, dan lain sebagainya.
Namun, kata “tourism” ini tidaklah serta merta diartikan dengan “wisata” ataupun “pariwisata” yang berasal dari kata bahasa Sansekerta (bdk. Yoeti, 1996). Berangkat dari landasan etimologis, “wisata” lebih tepat dipadankan dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris, merujuk pada perjalanan. Sementara “pariwisata”, yang merupakan gabungan lema “pari” dan “wisata” barulah sedikit bersesuaian dengan “tourism”, berarti perjalanan dari satu daerah ke daerah lain.
Pada level global, konsep-konsep turunan tourism di atas telah menjadi perbincangan hangat sejak dekade ‘60-an sebagai tanggapan alternatif atas mode mass tourism yang diproposalkan World Trade Organization (WTO), yang hanya mementingkan aspek bisnis, mengedepankan pembangunan tajuk besar, dan mengabaikan dimensi sosial-ekologis (Kim et al., 2012). Mass tourism ini juga merupakan bagian dari agenda kaum neolib untuk “menghibur” tenaga kerja industri agar membelanjakan uangnya di tengah destabilitasi ekonomi Negara pasca-Perang Dunia II (Urry, 2003).
Adapun untuk konteks Indonesia, kebijakan pariwisata kerakyatan dalam arti dikelola oleh orang-orang lokal dan bukannya dikontrol oleh pemilik modal (baca: asing) tertentu sempat dibahas pada masa pemerintahan Soekarno-Hatta. Tentang ini, supaya tidak terjebak pada anjungan ultranasionalisme, mesti dipahami bahwa waktu itu usai kemerdekaan, Negara berusaha menasionalisasi perusahaan-perusahaan kolonial, termasuk hotel-hotel, ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Wakil Presiden (Dr. Mohamad Hatta) sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat Ekonomi juga pembentukan Badan Pusat Hotel Negara di Yogyakarta pada tahun 1947 (Suwena dan Wydiatmaja, 2017).
Walakin dihantam dinamika politik eksternal-internal kala itu, upaya ini seyogianya bersinggungan erat dengan konsep ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) yang memang digarap sungguh-sungguh oleh Bung Hatta. Ekonomi kerakyatan -yang kemudian menjadi inspirasi penulisan judul artikel ini- menekankan pada tegaknya kedaulatan rakyat dalam mengelola faktor-faktor produksi secara mandiri. Konsep ini sebelumnya telah diutarakan oleh Tan Malaka (1912) bahwasanya ekonomi kerakyatan ialah “…produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat…” (bdk. Baswir, 2009).
Akan tetapi, dalam kaitannya dengan pariwisata, perkembangannya secara nasional kemudian menemukan jalan buntu terutama pada masa awal berkuasanya Orde Baru. Geliat ini kembali hidup saat terjadi krisis minyak dunia, disusul resesi ekonomi dunia yang berakibat pada turunnya penerimaan devisa Negara secara drastis. Pemerintah lalu menyatakan bahwa, peningkatan devisa melalui ekspor non-migas, jasa-jasa, dan pariwisata harus merupakan perjuangan habis-habisan, sebagaimana dikatakan Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 16 Agustus 1988 (Pujaastawa, 2017).
Ironisnya, kebijakan itu lantas mengubah total paradigma pariwisata di Indonesia, yakni perkara kejar-mengejar profit, bahkan sampai pada alih fungsi lahan. Tidak peduli nasib orang lokal, yang penting turis (investor) datang dan bayar pajak untuk Negara. Tak pelak, di beberapa daerah, seperti Bali (wilayah yang memang telah dihantam arus wisata sejak era kolonial), sebagian warga melakukan protes, berlaku kasar kepada wisatawan (mancanegara), bertindak kriminal, dan merusak fasilitas-fasilitas publik (bdk. Mahagangga, 2008; Nurdin, 2016). Begitu juga yang terjadi di Makassar, proyek “Kota Budaya” oleh Orde Baru memberikan dampak serius bagi tersisihnya sumber penghidupan informal warga kota akibat penguasaan ruang spasial oleh pihak swasta (Ilham, 2019).
Lebih lanjut, dinamika lainnya terjadi di dalam diri masyarakat itu sendiri. Rasa senang dan kagum terhadap orang “luar”, dalam hal ini para turis bule, ditambah cerapan-cerapan citra keseragaman modernitas, menyebabkan kesadaran warga mudah sekali terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Warga lalu dianggap sebagai unit sosial yang gampang diatur, mudah menerima dan bernegosiasi dengan identitas budaya lain, serta tak pelak “pembangunan” pariwisata dipampatkan sebagai urusan teknis belaka. Para pengambil kebijakan tidak ubahnya seperti melempar batu ke dalam suatu kolam. Pengaruhnya tidak hanya terjadi di mana batu dilemparkan, tetapi pengaruhnya juga terjadi di sepanjang riak gelombang yang ditimbulkannya (Putra, 2008).
Proyek pariwisata model Orde Baru tersebut tampaknya masih bercokol sampai sekarang dengan (ko)-modifikasi nilai jual, seperti “Bali Baru”, “Wisata Premium”, ataupun pelabelan-pelabelan aneh lainnya, sebuah pertanda yang menunjukkan minimnya imajinasi para pengelola Negara.
Namun, terlepas dari tantangan-tantangan termaktub, kewaskitaan atas dampak pariwisata konvensional tersebut, terutama setelah berlakunya Otonomi Daerah, membuat beberapa wilayah mulai memikirkan ulang tata kelola potensi-potensi tempat wisata, bahkan merasuk sampai ke desa-desa ataupun satuan komunitas tertentu. Di sejumlah Negara berkembang, implementasi model pariwisata tempatan tadi telah berlangsung sejak tahun 1990-an, salah satunya berkat intervensi lembaga-lembaga donor di bawah payung sustainable tourism.
Hanya saja, menurut Baskora dan Rukendi (2008), sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) ini sedikit berbeda dengan konsep pariwisata kerakyatan karena tetap mengedepankan pendekatan top-down, dan bukannya bottom-up. Tentu, dalam perspektif kritis, pendapat ini masih juga bisa diulik lagi untuk merefleksikan operasi seperti apa dalam memberdayakan potensi-potensi wisata kewargaan itu.
Melampaui Komunitas, Menuju Relasionalitas
Salah satu anggapan yang sering disematkan kepada desa atau kelompok masyarakat yang ruang tinggalnya jauh dari kota (pusat) ialah orang-orangnya terbelakang, bodoh, dan miskin, tetapi memiliki sisi romantis-nostalgis (bdk. Li, 2002).
Konstruksi sosial ini berimplikasi pada dua hal rumit: pembangunan desa/komunitas membuat warga tampak pasif di atas segala praktik kepengaturan, dan berikutnya, warga dibiarkan mengurus atau menyesuaikan dirinya sendiri guna bertahan hidup -untuk tidak mengatakan bersaing- di tengah lalu-lintas penetrasi ekonomi pasar maupun ekonomi subsidi.
Tidak jarang, di beberapa tempat wisata lokal dalam suatu daerah (entah hasil inisiatif warga ataupun intervensi pemerintah juga kerja lembaga-lembaga swadaya), masing-masing kelompok membuat peraturan sendiri-sendiri alias berbeda-beda, terkhusus berkaitan dengan sewa/tarif masuk dan penggunaan fasilitas/jasa tertentu. Pembandingan-pembandingan oleh para wisatawan pun jamak terdengar.
Hal ini belum lagi, misalnya, orang-orang yang mengelola (baca: menjaga) memiliki posisi sosial-ekonomi dan politik tertentu, semisal kelas-kelas penguasa sumber daya. Contoh kasus yang terjadi di Pantai Koka-Maumere sebagaimana dipaparkan pada awal tulisan ini menunjukkan bagaimana bekerjanya praktik ekonomi rasional tersebut, meskipun warga yang beroperasi mungkin bukanlah subyek-subyek pemilik banyak lahan.
Kondisi ini sedikit berlainan dengan wisata-wisata tempatan yang di dalamnya tidak berlangsung kompleksitas dinamika kepemilikan sumber daya, di samping pengelolaan ruang yang merupakan kerja terencana, muncul dari kesadaran organik, dan bukannya proses tawar-menawar yang kadang membuat sebagian warga hanya jadi makhluk penurut.
Pada titik ini, orang mungkin akan mengapresiasi model wisata a la BUMDes sebagaimana cerita di Rote tadi ataupun fenomena munculnya desa-desa wisata di Bali dan Yogyakarta sebagai bentuk resistensi atas industri pariwisata massal. Namun, mesti diingat, tanpa adanya pemahaman ihwal perencanaan, strategi pengembangan, juga motif dari usaha semacam itu, termasuk membentuk keterhubungan-keterhubungan (aspek relasionalitas) antara satu tempat dan tempat lainnya, usaha-usaha itu bisa saja hanya bergerak mengikuti logika kapitalisme yang ada.
Warga hanya sekadar melihat uangnya saja dan tidak peduli dengan nilai apa yang ditawarkan, termasuk jalinan hubungan sosial di antara mereka. Dalam kacamata sebaliknya, orang beranggapan, yang penting turis kunjung dan foto-foto, beri uang atau tidak bukanlah urusan. Tsing (2005) dalam studinya perkara introduksi kapital-(isme) di Kalimantan menyebut hal-hal semacam itu sebagai friksi, yakni ketegangan warga lokal merespons gejala global.
Dengan demikian, model pariwisata kerakyatan/tempatan mestinya merupakan suatu kerja serius, memperhatikan kelindan relasi sosial-ekonomi dalam masyarakat, melibatkan banyak aktor perencana dari berbagai sudut pandang, dan dalam eksekusinya, mengoptimalkan jejaring-jejaring, termasuk pelaku pariwisata dan komunitas, yang (telah) ada. Di dalamnya juga berlangsung centang perenang gagasan soal promosi, keterlibatan badan pemerintah yang bertanggung jawab, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang memang berfokus menggarap isu termaktub.
Inilah yang dimaksud dengan aspek relasionalitas. Jika masing-masing elemen tersebutkan di atas berjalan sendiri-sendiri, tentu sangat sulit mengharapkan pariwisata ceruk kecil bertumbuh kembang; malah bisa saja warga menjadi korban akibat pertarungan banyak kepentingan, ataupun sebelum berkembang, mereka mungkin sudah duluan “dibajak” oleh investor besar.
Tentang ini, dalam percakapan-percakapan seputar pengembangan pariwisata (lokal), model pendekatan yang dikenal dengan advocacy, baik diterapkan oleh kaum akademisi maupun praktisi, sudah tidaklah lagi relevan. Model ini dianggap hanya memperkeruh problem-problem ketimpangan yang sebelumnya sudah ada di masyarakat (bdk. Pujaastawa, 2017). Pendekatan advocacy bergerak pada tataran permukaan, tidak masuk lebih jauh dalam memahami relasi sosial kewargaan. Pada level diskursus, pendekatan ini sempat dilawan oleh pendekatan cautinary yang memandang pariwisata dari segi buruknya saja, meskipun pendekatan ini tidak mempertimbangkan usaha-usaha spontan masyarakat arus bawah.
Pendekatan lain yang kemudian muncul ialah adaptancy yang menyadari bahwa pariwisata mempunyai dampak positif dan negatif sehingga pemahaman terhadap suatu masyarakat itu bersifat holistik. Pengembangan dari pendekatan itu yang setidaknya diadopsi hingga saat ini ialah knowledge-based. Pendekatan ini melihat pariwisata sebagai fenomena multi-dimensi: ekonomi, politik, sosial-budaya, ekologi, dan lain sebagainya (Spillane dan James, 1994).Oleh karenanya, pengembangan pariwisata mesti dilakukan melalui cara terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan dan peran stakeholder.
Sudah barang tentu, sebagai problem teoretis pendekatan-pendekatan tersebut tidak serta merta dapat terpacakkan pada setiap wilayah/komunitas. Di kampung halaman saya, Desa Lepo Lima, Maumere-Flores, ide agar desa (BUMDes) menata gua bekas hunian tentara Jepang menjadi suatu arena wisata tampak agak sukar terlaksana karena tempatnya berada di sekitaran kebun sejumlah warga. Ketimbang merelakan lahan untuk tempat wisata yang belum diketahui apa manfaatnya, penduduk setempat memilih untuk kerja kebun saja demi penuhi kebutuhan subsistensi. Risiko lain yang juga bisa muncul ialah klaim-klaim pemanfaatan sisa lahan.
Akan tetapi, di beberapa wilayah lain, pariwisata ini malah dijadikan alat oleh warga untuk menyatakan identitas dirinya terhadap dunia modern.
Misalnya, Suku Ainu di Jepang yang mengembangkan bentuk desa tradisional dengan segala macam pengetahuan dan kearifan lokal sembari membuka diri terhadap wisatawan asing (dari kota). Tujuan mereka sangat sederhana; memperoleh pengakuan sebagai bagian dari suatu entitas etnis tersendiri (Trijono, 2016).
Ataupun juga, beberapa kampung tradisional di Indonesia yang memang sudah punya landasan modal sosial-kultural yang khas sehingga pengembangannya tidak terlalu menimbulkan kerumitan, tergantung kesepakatan-kesepakatan sosial. Justru yang membikin rumit malah Negara; muncul dengan watak serba tahu dan seolah-olah hendak mengkonstruksi ulang pranata sosial tempatan, seperti baru-baru ini dikeluhkan masyarakat adat Baduy, Desa Kanekes, Banten (Bdk. Tempo.co, 23/7/2020).
Pariwisata Kerakyatan: Tanding atau Naik Banding?
Pariwisata kerakyatan meski kurang lebih mengikuti konsep ekonomi kerakyatan tidaklah pertama-tama dimaksudkan sebagai ladang baru, apalagi tunggal, untuk membentuk suatu masyarakat/komunitas yang sejahtera (wealth) dan makmur.
Model ini -dengan segala macam dinamika yang telah diuraikan dari atas- sejatinya lebih menekankan pada aspek “nilai” yang berlaku dalam jaring kekerabatan antaranggota masyarakat. Artinya, orang mesti paham dulu apa makna yang terkandung dari suatu produk wisata sehingga tidak sekadar “berpura-pura” membuat wisatawan atau orang lain tertarik, juga tidak sekadar “menjual” sesuatu yang terlepas dari jati dirinya.
Untuk konteks sekarang, dalam kaitannya dengan nilai, proses revitalisasi atau pengembangannya sudah barang tentu membutuhkan basis kecakapan sumber daya manusia, karena pariwisata memang bukan hasil kerja “alami”, melainkan kerja “kebudayaan” dalam jejak peradaban yang panjang. Aktor-aktor penjaga basis itulah yang bakal terlibat dalam perancangan konsep, pemahaman atas kondisi material kewargaan, merancang promosi, dan bergerak membentuk jejaring dengan komunitas lain, termasuk para pelaku pariwisata, dan tentu saja pemerintah itu sendiri.
Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana pemanfaatan atas berkembang pesatnya era new media (digital) yang mana setiap orang bisa membuat narasi sesuai selera mereka. Tanpa adanya manajemen kelola media oleh subyek sosial dari bawah (dari dalam kelompok masyarakat itu sendiri), nilai suatu tempat wisata dapat saja menjadi kabur atau dikaburkan.
Benar bahwa semakin sering suatu komunitas pariwisata dibicarakan di ruang-ruang digital, semakin besar pula pantikan yang memungkinkan orang lain untuk datang berkunjung. Namun, apalah artinya jika aktor penggerak, bahkan masyarakat itu sendiri, tidak punya basis data (pengetahuan) yang bisa menjadi rujukan atau bekal bagi para pelancong. Dalam sudut pandang nilai, esensi pariwisata tempatan adalah ruang perjumpaan, arena orang datang belajar, menemukan diri mereka dari apa yang ada di tengah masyarakat lewat laku ritual bernama “perjalanan”. Soal “keindahan”, “kebagusan”, “negeri di atas awan”, “salju di tengah padang gurun”, atau citraan-citraan jatmika lainnya itu menjadi urusan kedua.
Dengan begitu, pariwisata kerakyatan bukan merupakan suatu kultur tandingan terhadap pariwisata massal yang menghantui bangsa ini sejak era Orde Baru, dan kalau mau ditarik lebih jauh saat berlakunya proyek “swastanisasi” Belanda pada awal dekade 1900-an. Saya kira, model pendekatan ini merupakan suatu medium saling mendidik antara komunitas yang satu dan komunitas lainnya dan tentu saja antara warga yang satu dan warga lainnya untuk mengidentifikasikan kembali nilai-nilai yang menjalin hubungan sosial mereka.
Model ini juga bukan bertujuan untuk naik banding karena hanya akan menempatkan pariwisata sebagai dimensi ekonomi semata, yang sesekali waktu akan menimbulkan konflik sosial menimbang diferensiasi kelas yang terbentuk baik secara kultural maupun struktural di tengah masyarakat.
Keberhasilan Suku Ainu dan komunitas-komunitas wisata lainnya di Jepang, dalam contoh tadi, salah satunya karena sejarah kewargaan yang tidak alami gejolak rumit perkara perebutan sumber daya alami sehingga pembentukan lapis-lapis kelas sosial tampak tidak terlalu kentara. Mereka mudah sekali berorganisasi, memanfaatkan pariwisata, untuk menunjukkan identitas dirinya kepada dunia luar, terkhusus Negara sendiri.
Untuk konteks Indonesia yang paradigma pariwisatanya terlanjur diintervensi oleh kapitalisme Orde Baru ditambah struktur penguasaan sumber daya warisan mode produksi kolonial, bentuk wisata ataupun pariwisata kerakyatan tentu membutuhkan kerja yang memang holistik untuk memahami kompleksitas relasi sosial dan ekonomi-politik dalam masyarakat.
Sehingga apa yang dikenal sebagai ekonomi “bottom-up” tidaklah malang melintang hanya sebagai bahasa keresahan kita kala menggerutui jangkar ganas kapitalisme sektor ini, tetapi merupakan aktivitas terencana yang dikerjakan secara kolektif-relasional dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab.
*Artikel ini pertama kali terbit di laman arnolduswea.com. Diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan Pendidikan.