
Kekerasan Polisi terhadap warga negara yang tidak bersalah dalam kesempatan, bentuk, dan dengan alasan apapun adalah kejahatan. Apalagi kekerasan itu dilakukan dengan maksud agar melindungi satu pihak dan membatasi pihak lain agar tidak dapat menggunakan hak-haknya sebagai warga negara.
Kami dari Koalisi Aktifis NGO-Maumere mengutuk keras tindakan represi yang dilakukan Kepolisian Resort Nagekeo dan Satuan Brimob Polda NTT sejak September hingga Oktober 2021 terhadap mama-mama perempuan adat suku Rendu, Lambo, Ndora di lokasi Waduk Lambo Lowo Se.
Keterlibatan Polisi, TNI dan Pol PP dalam upaya menghalang-halangi perjuangan masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora menolak pembangunan Waduk Lambo di Lowo Se, di Kec. Asesa Selatan Kab. Negekeo sudah berlasung sejak tahun 2015 hingga saat ini. Kekerasan fisik, intimidasi hingga kriminalisasi telah menjadi pola standar untuk membrangus hak-hak masyarakat adat menyampaikan pendapat dan mempertahankan tanah adatnya.
Selama bulan September hingga Oktober 2021 ini, Polisi dari Polres Nagekeo dan Satuan Brimob Polda NTT bersenjata lengkap kembali tampak hadir di lapangan untuk mengawal kegiatan Survey dan Pengukuran Lokasi Waduk oleh petugas BWS NT II. Menurut gambar dan video yang viral di media sosial serta pemberitaan di media online, Polisi dan satuan Brimob dengan sangat arogan melakukan represi fisik dan intimidasi kepada mama-mama dari masyarakat adat yang sedang mengekspresikan pendapatnya di lapangan.
Polisi, TNI dan Pol-PP secara institusi terkesan buta dan menolak memahami eksistensi hak-hak masyarakat adat atas pembangunan. Dengan dalil mengamankan proyek strategis nasional mereka telah meletakan keperpihakannya bukan pada semua pihak tapi pada Pemrakarsa Proyek yaitu BWS NT II saja.
Pernyataan Kapolda NTT melalui Kabidhumas Polda NTT Kombes Pol. Rishian Krisna B, S.H., S.I.K., M.Hum, LIPUTAN 6: Jumat (24/9/2021) sore, bahwa: “Kehadiran Polri di lokasi pembangunan adalah dalam rangka pengamanan dan menjamin proyek strategi nasional berjalan dengan baik, aman dan sesuai target penyelesaian yang telah direncanakan, sehingga dapat segera diberdayakan dan memberikan manfaat bagi masyarakat NTT”.
Pernyataan ini mempertegas posisi kehadiran Polisi di lapangan hanya mengacu pada out put kebijakan pemrakarsa proyek (BWS NT II). Polisi tidak peduli dan menganggap bukan urusannya dengan buruknya proses perencanaan Waduk Lambo itu sebelumnya yang tidak adil dan telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Kehadiran Polisi di sini persis hanya sebagai alat pertahanan dan perlindungan bagi BWS NT II atas tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan tersebut di hadapan masyarakat adat.
Padahal sejatinya berdasarkan pasal 2 jo pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisia Negara RI, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Polisi juga bertanggung-jawab atas penyelanggaraan perlindungan, pemenuhan, penghormatan dan promosi hak asasi manusia berdasarkan Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, Kepolisian sebagai penanggung-jawab operasional kemanan di lapangan, khususnya berkaitan dengan pembangunan Waduk Lambo harus memahami;
- Latar-belakan persoalan dan eksistensi masyarakat adat setempat. Mereka, tidak menolak pembangunan waduk. Mereka menolak pembangunan wadul Lambo yang berlokasi di Lowose dan mengajukan alternatif di Malawaka dan Lewo Pebhu. Usulan ini sudah di ajukan sejak tahun 2001 dan hingga saat ini belum mendapat tanggapan dari Pemerintah Daerah Ngada, Nagekeo, NTT dan Indonesia.
- Alasan aksi yang dilakukan, karena tidak terakomodirnya saran dan pendapat mereka selama ini, bahkan tidak pernah pula tersedia forum dialog yang kondusif antara Pemerintah (pihak pemrakarsa proyek) dengan masyarakat untuk membahas hal ini, maka pencegahan di lapangan yang selama ini terjadi oleh emak-emak atas kegiatan Survey dan Pengukuaran oleh BWS NT II selama Agustus – Oktober 2021 adalah bentuk pernyataan sikap dan penyampain pendapat yang dilindungi UU.
- Dasar-dasar perlawanan mereka ini bisa dipertanggung-jawabkan secara hukum kerena beberapa alasan lain seperti : ada indikasi terjadi mafia tanah dalam proses pendataan pengadaan tanah, karena beberapa pihak kunci dan asli warga setempat justru tidak terakomodir. Ada indikasi pemaksaan kehendak oleh pihak BHW NT II yang bertentangan dengan rekomendasi Amdalnya. Ada pernyataan dari Menteri PUPR – RI ketika bertemu dengan wakil MA Rendu, Lambo dan Ndora di Jakarta tanggal 4 Agustus 2017 bahwa: Kalau ada satu orang-pun yang tidak setuju dengan pembangunan Waduk di Lokasi tersebut, maka pembangunan itu tidak bisa diteruskan.
Atas dasar uraian ini, maka kami menilai Polisi selama berada di lapangan dari September hingga Oktober 2021 telah bertindak diskriminasi, represi (fisik dan mental) terhadap masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak menerapkan prinsip-prinsip perlindungan, pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia bagi setiap warga negara.
Oleh karena itu, dengan tegas kami meminta;
- Kepada Kementrian PUPR cg. Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II (BWS – NT II) untuk:
- Menghentikan atau membatalkan penggunaan apparat Kepolisian di Lapangan. Karena Kepolisia Republik Indonesia adalah Lembaga Pemerintahan yang tidak bisa/tidak boleh dimanfaatkan layaknya preman bayaran untuk melindungi tindakan sewenang-wenang BWS NT II sebagai Pemrakasa Proyek Waduk Lambo.
- Menghentikan sementara kegiatan pembangunan Waduk Lambo sampai dengan dilaksanakan perundingan ulang mengenai lokasi pembangunan antara pihak Pemrakarsa PUPR (BWS NT II) dengan masyarakat adat dari Suku Rendu, Lambo dan Ndora.
- Kepada Kapolda NTT dan Kapolres Nagekeo agar menarik semua personil dari lapangan agar tidak terjadi benturan dengan Warga Masyarakat Adat yang kami duga akan terus melakuan perlawanan terhadap BWS NT II dengan alasan tersebut di atas.
Demikian Penyampaian. Kami akan terus melakukan pemantauan dan aktif memberikan penilaian terhadap seluruh proses yang terjadi di lapangan berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan proyek Waduk Lambo. Terima kasih.
Maumere, 16 Oktober 2021
Hormat Kami :
Koalisi Aktivis HAM – Maumere.
Anton Yohanis Bala (Ba’Pikir)
Pieter Embu Gusi (PBH – Nusra)
Karolus Wim Keupung (WTM)
Silverius Angi (Petasan)
Yuvensius Wangge (FPBD – Sikka)
Fransiskus Anggelinus (YP2R)
Yohanis Yos Depeskim ( Aktivis)
Yulius Regang (Aktivis)
Albertus Sani Sogen (Aktivis)
Arkadius Amantus (Aktivis)
Marianus Mayolis (Aktivis)
Marsel Jagong (aktivis)
Narahubung; Anton Yohanis Bala (085239444482)