Tragedi ’65 dan Pembunuhan Orang-Orang Tak Bersalah di Adonara

Bagikan!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
Gambar: Ilustrasi Peristiwa 65 (Sumber: ypkp1965.org)

Saya tidak ingat secara pasti kapan dan di mana saya pertama kali menonton film Pengkhianatan G/30/S-PKI. Film yang dibuat menggunakan anggaran negara itu begitu terkenal, karena setiap anak akan ‘dipaksa’ menontonnya tiap tanggal 1 Oktober.

Begitu melekatnya, sampai-sampai beberapa potongan dialog dalam film tentang aksi para Gerwani di Lubang Buaya masih terdengar dalam percakapan teman-teman, walau sekedar kelakar. Ingatan kami tentang peristiwa yang terjadi pada tahun itu adalah pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira.Hanya itu!

Masa kanak kami diisi dengan film propaganda itu, dan kami tidak tahu setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira, ada tragedi pembunuhan manusia secara besar-besaran yang dilakukan ataupun difasilitasi oleh negara dan militer!

Tentu saja, angka kematian dari peristiwa pembunuhan massal G-30-S ini hanya berupa perkiraan-perkiraan, dan sangat tidak mungkin menentukan angka yang pasti. Alasannya tentu bervariasi. Bisa jadi karena belum banyak korban pembunuhan yang ditemukan, pembuangan mayat-mayat ke laut, ataupun penghilangan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI, simpatisan, maupun tanpa identitas dari keduanya itu.

Setelah peristiwa G-30-S, nasib PKI memang tamat. Partai besar itu lalu dilarang. PKI kini tak hanya tampak sebagai satu nostalgia partai politik dengan basis massa paling banyak di Indonesia. Pandangan orang terhadap partai ini, usai kudeta yang gagal itu, tak lebih baik dari sesuatu yang pantas dicampakan ke neraka. Bagi kebanyakan orang Indonesia, PKI adalah momok, bayang-bayang hitam, akumulasi dari segala jenis kejahatan, dan apa yang terbayang dalam pikiran kita sewaktu mendengar penyebutan PKI adalah imajinasi-imajinasi buruk bahkan sebagai aib.

Kalau orang lain bertanya apa yang membuat PKI dilarang di Indonesia, mungkin sebagian besar dari kita tidak bisa memberikkan jawaban pasti dan meyakinkan, apalagi ilmiah. Orang belum lagi bertanya kepada kita apa yang salah dari partai dengan basis anggota terbesar ini!

Bahkan saat ini, akibat propaganda rezim Orde Baru selama puluhan tahun, orang merasa kuatir setengah mati hanya dengan melihat gambar palu arit.

Di Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, cerita pembunuhan pasca-G-30-S pun masih terbayang di kepala orang-orang sampai sekarang. Pada awal tahun 2020, saya bertemu sejumlah saksi mata peristiwa pembunuhan massal ini.

Menurut mereka, di Pulau Adonara (salah satu pulau yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Flores Timur), setidaknya ada tiga tempat pembunuhan massal, salah satunya dikenal dengan sebutan Got Miten (Got Hitam). Letaknya hanya beberapa kilometer dari Kota Waiwerang.  Di tempat itu, orang-orang dibantai, dan tidak penting lagi apakah dia itu anggota PKI, simpatisan PKI, ataukah orang di luar partai atau ormas.

Tapi untuk mengerti duduk persoalan pembunuhan di kabupaten ini, terkhusus di Pulau Adonara, kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapakah para korban dalam pembantaian massal ini.

Di Pulau Adonara, sejauh yang diketahui tidak ada anggota PKI, karena orang-orang yang dibunuh pada waktu itu adalah para anggota PKTI (Persatuan Kaum Tani Indonesia) yang didirikan Buang Duran satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan. PKTI ini bukanlah partai, tapi ormas. Di Pulau Adonara, pada masa-masa sebelum pembunuhan massal, ada tiga ormas yang berperan penting, yaitu PKTI yang dipimpin Buang Duran, Serikat Santo Yoseph dipimpin Guru Lesu Tokan, dan Perkumpulan Bapak Tani yang dipimpin Kelake Kei.

Di antara ketiga ormas ini, PKTI adalah ormas dengan jumlah anggota paling banyak, mencapai ribuan orang. R. H. Barnes mencatat bahwa dalam tahun 1951, jumlah anggota PKTI mencapai 1.265 orang. Sewaktu dirikan Buang Duran pada tahun 1946, PKTI telah memiliki anggota sebanyak 700 lebih orang. PKTI menerapkan satu slogan, yang memang dipakai oleh PKI di Jawa, yaitu ‘sama rata sama rasa’.

Karena itu, mereka membenci kaum bangsawan, yang merasa diri lebih di atas kaum awam, karena sistem dan kehidupan kaum bangsawan memang berseberangan dengan semangat PKTI.

Satu cerita tentang PKTI yang sampai saat ini masih diingat orang dan tetap membingungkan adalah cerita tentang batu dan makanan. PKTI berjanji kepada warga, jika mereka masuk menjadi anggota PKTI, maka hanya “dengan membuka batu, mereka akan menemukan bahan makanan”. Bertahun-tahun orang menganggap itu sebagai satu keanehan, dan ini selalu diulang-ulang oleh orang sewaktu ditanya soal kegiatan PKTI.

Belakangan, sewaktu berjumpa dengan orang-orang tua, mereka membenarkan slogan-slogan itu. Lihatlah, kata mereka, sekarang ini semua hal punya nilai ekonomis: batu-batu bahkan kayu-kayu. Batu-baru sekarang dijual dan mendatangkan uang, kata mereka, dan dengan uang itu, kita bisa membeli bahan makanan.

Menurut saya, ini semacam satu pelogisan yang diambil untuk memikirkan kembali apa yang telah didengar bertahun-tahun lalu dari PKTI. Slogan yang terakhir itu tentu berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi waktu itu. Karena saat itu kelaparan merajalela dan terjadi di mana-mana. Beras menjadi bahan yang begitu mewah untuk dimakan pada hari-hari biasa. Orang-orang mengalami kelaparan, dan bahan makanan begitu sulit didapat. Karena itu, untuk menarik jumlah anggota, PKTI memikirkan satu kampanye, yang mau tidak mau, berkaitan erat dengan makananan dan kelaparan. Dan saat itu, siapa yang tidak tertarik dengan makanan?

Setelah pembunuhan enam jendral dan satu perwira dalam G-30-S, PKTI mulai dibantai secara massal. Namun pembunuhan yang dilakukan di tempat ini terbilang terlambat, karena pemerintah menginstruksikan pembunuhan itu dimulai dari tanggal 15 Maret 1966 sampai 1 Mei 1966.

Siapa yang dibunuh? Yang dibunuh saat itu adalah para anggota PKTI, juga orang-orang yang tidak tahu bahwa dia adalah anggota PKTI. Para saksi mata bercerita bahwa orang-orang bisa menggunakan momen ini untuk menghukum orang-orang yang tidak disukainya, dengan melaporkannya kepada yang pemerintah dan militer.

Gambar: Ilustrasi Peristiwa 65 (Sumber: ypkp1965.org)

Siapa yang membantai? Para tentara dan algojo yang ditentukan oleh tentara! Setiap malam, antara 15 sampai 20 korban dijemput menggunakan mobil milik Koperasi Kopra (Kokop) atau oto milik pastoral setempat. Seorang saksi mata di Kecamatan Kelubagolit, mengatakan ikut melihat pembunuhan yang dilakukan setiap malam di Got Hitam itu. Puluhan orang diangkut paksa tiap malam, ditahan beberapa hari di Kota Waiwerang, disuruh mengerjakan fisik jalan jalur Waiwerang – Sagu, menggali sendiri lubang kuburannya, kepalanya dicukur, dan sekitar jam satu malam, mereka dibawa ke tepi lubang, lalu dipenggal kepalanya. Liang kubur massal itu digali sendiri oleh para tahanan, para korban.

Sewaktu ditemui, saksi mata ini menuturkan banyak kisah. Walau pada awalnya ia merasa canggung dan takut karena berkaitan dengan pembunuhan massal, tapi pada akhirnya cerita-cerita pun mengalir.  Suatu malam, dia dipanggil dan ikut melihat ‘acara’ pembunuhan yang dilakukan di sekitaran Kota Larantuka, dan lokasi tersebut saat ini telah dibangun pura. Sebuah lubang telah digali, dan di sekelilingnya, para tentara berdiri mengokang senjata.

Hampir sama di seluruh Indonesia, tentara di sini tidak melakukan pembunuhan secara langsung. Mereka berdiri berjaga dengan senjata, dan di tengah-tengah, beberapa warga yang dipaksa sebagai algojo melakukan pembunuhan. Hanya untuk satu malam itu, para algojo membunuh 68 manusia, disaksikan dan dijaga ketat oleh tentara. Kita tentu harus bertanya, di mana letak kesalahan orang-orang terbunuh itu! Dan kesalahan seperti apa sehingga bisa dibunuh dengan cara seperti itu, tanpa putusan peradilan?

Para tentara, sejauh yang diketahui, tidak pernah melakukan pembunuhan secara langsung. Mereka bekerja sama dengan kelompok pemuda, dan menugaskan beberapa orang untuk melakukan pembunuhan terhadap para sanak keluarganya sendiri. Seorang algojo dari Desa Bungalawan, terpaksa harus membunuh keluarganya sendiri, karena sewaktu dijemput untuk melakukan pembantaian pada tengah malam, dia tidak tahu siapa yang akan dia bunuh. Dia bertemu dengan keluarganya itu di liang kuburan massal, dan dia tidak punya pilihan lain selain mengayunkan parang dan memenggal kepala keluarganya.

Ada sisi lain kekejaman militer saat itu. Setiap orang seperti tidak punya pilihan lain, dan dia wajib memilih antara pro-PKI atau kontra-PKI. Para algojo yang bertugas untuk membunuh anggota PKTI, wajib melaksanakan tugas itu, sampai korban benar-benar meninggal. Jika korban itu lari atau karena satu keteledoran penjagaan dan menghilang, maka sang algojo itu yang harus mengganti posisi sebagai korban dan dibunuh. Jadi menurut saya, entah bertindak sebagai algojo ataupun anggota PKTI, mereka sama-sama berposisi sebagai korban dari para tentara, dari pemerintah.

Sebelum dibunuh setiap tengah malam, hari-hari sebelumnya, para tahanan mengalami penyiksaan dan kerja paksa. Seorang saksi mata dari desa Sukutokan bercerita, suatu hari, sekitar 600 orang tahanan dikumpulkan di Taman Kota Waiwerang. Ibu jari kedua belah tangan diikat di belakang punggung, dan semuanya disiksa. Darah memenuhi sekujur tubuh para tahanan. Mereka berarak mengelilingi taman kota, dan sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya mereka disiksa. Tentu ini bukanlah satu tindakan kekejaman terahasiakan, karena warga yang berkesempatan lewat saat itu bisa menontonnya dari jauh.

Pembunuhan yang dilakukan di Got Hitam, tak hanya untuk warga Adonara. Karena para tahanan dari Pulau Lembata juga dikirim untuk dibunuh di tempat ini. R. H. Barnes menulis bahwa di Kabupaten Flores Timur, jumlah manusia yang dibunuh dalam tragedi itu sekitar 700 orang.

Propaganda Memerangi PKI

Gambar: Ilustrasi Peristiwa 65 (Sumber: ypkp1965.org)

Sulit diterima dengan akal sehat, satu hukuman bisa ditimpahkan pada seseorang tanpa terlebih dahulu memutuskan apakah seseorang itu bersalah atau tidak. Setiap orang akan dihukum berdasarkan perbuatannya, dan harus melalui proses peradilan. Tidak bisa juga seorang pimpinan melakukan kesalahan, dan kesalahan itu ditimpahkan pada seluruh anggotanya. Ini merupakan hukum kesalahan kolektif, yang telah ditentang oleh semua negara.

Tapi ini tidak berlaku untuk tragedi kemanusiaan di Indonesia, yang kemudian mengubah arah perjuangan bangsa Indonesia. Hingga saat ini, bagi sebagian besar orang Indonesia, pembunuhan yang dilakukan terhadap ratusan ribu bahkan jutaan orang tersebut dianggap satu hal yang wajar, dan rasa-rasanya tidak perlu dikaitkan dengan kejahatan kemanusiaan. Penyebutan nama PKI seperti mewakili segala kejahatan yang hampir mustahil bisa dimaafkan. Apa saja yang berkaitan dengan partai ini dibenci setengah mati, bahkan orang-orang yang menjual baju berlogo palu arit pun ditangkap.

Tentu telah banyak orang yang meneliti dan menulis tentang peristiwa kejahatan kemanusiaan ini. Tapi hingga hari ini, dominasi sejarah versi orde baru memang tidak mudah ditinggalkan. Selama bertahun-tahun, pemerintah Orde Baru melakukan pembohongan publik tentang peristiwa pembunuhan para jenderal dan perwira itu.

Kebohongan paling awal adalah sebagaimana terbaca dalam koran-koran terbitan kala itu, bahwa para jenderal dan perwira dicungkil matanya dan alat kelaminnya dipotong. Doktrin kebencian terhadap PKI juga diabadikan dalam satu film produksi pemerintahan Orde Baru: Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap tahun pada tanggal 1 Oktober, anak-anak sekolah dipaksa untuk menonton film propaganda buatan negara tersebut. Propaganda memerangi PKI diatur bahkan sampai pemilihan suasana pertemuan antar pimpinan dan anggota PKI yang selalu bernuansa suram dan gelap. Para jenderal sebagaimana yang tertulis pula dalam surat kabar usai peristiwa di Lubang Buaya, katanya disayat dengan silet, disiksa, bahwa kemaluannya dipotong oleh para Gerwani.   

Kini, para peneliti membuktikan bahwa segala kejahatan itu hanyalah dongeng belaka. Bahwa para jenderal tidak mengalami penyiksaan keji sebagaimana yang ditulis di koran-koran ataupun dalam film. Dokter yang menangani autopsi jenasah para jenderal, mengakui tidak adanya luka-luka sayatan ataupun pencungkilan mata yang dilakukan oleh orang-orang PKI dan Gerwani.

Dalam salah satu sesi wawancara yang ditayang di indoprogress.com, Dokter Liauw Yan Siang, salah satu dokter yang melakukan autopsi terhadap jenasah-jenasah para jenderal terbunuh, membenarkan tidak ada penyiksaan terhadap jenasah-jenasah para jenderal tersebut. Dalam posisi ini, tentu kita harus memakai dan percaya terhadap pengakuan dari seorang dokter ahli, ketimbang sejarah versi negara yang selama ini dipelajari sampai ke pelosok-pelosok.

Penyiksaan jenderal sebagaimana tertulis dalam koran dan tergambarkan dalam film, hanya sekedar propaganda pemerintah agar semua orang memiliki gambaran buruk terhadap partai komunis dengan massa terbesar ketiga di dunia itu. Istilah G-30-S/PKI juga tidak diterima oleh sejumlah penulis dan peneliti. Jhon Rossa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal, mengatakan tidak ada gunanya dia menulis buku itu sekiranya dia masih mencantumkan kata PKI pada akhir istilah itu.

Penulisan akhiran PKI dalam G-30-S/PKI, sama halnya memberikan kesimpulan bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa misterius itu. Penulisan PKI pada perisitiwa itu juga akan menutup segala kemungkinan lain yang mungkin masih bisa diungkap kemudian hari. Tragedi G-30-S/PKI, kata Jhon Rossa, tidak terlalu penting. Yang lebih penting justru kejadian-kejadian pembunuhan setelah itu.

Sean Reardon, dalam laporan penelitian berjudul Peristiwa ‘65/’66 (Pembunuhan Massal PKI) pun membenarkan bahwa penyiksaan terhadap para jenderal dan perwira adalah sekedar propaganda semata, agar orang-orang membenci PKI. Dari mana dia tahu? Karena saya sudah baca semua hasil autopsi jenasah para jenderal itu, katanya. Dalam laporan penelitian ini, dia juga mengaitkan suasana politik internasional, nasional, dan lokal saat itu. Ben Anderson mengatakan bahwa peristiwa pada saat itu adalah konflik internal Angkatan Darat.

Sama seperti di tempat lain, di wilayah Kabupaten Flores Timur, terkhusus di pulau Adonara, pembunuhan-pembunuhan itu difasilitasi negara dan militer. Orang-orang yang memerintah untuk membunuh pun sampai saat ini tidak pernah dihukum. Lebih disayangkan lagi, setelah lebih dari setengah abad berlalu, kebencian terhadap para korban, orang-orang yang tak bersalah itu, tidak pernah padam. * * *